Rabu, 16 Maret 2016

Gadis Bertopi Merah [Solo Pos 13 Maret 2016]




“Gadis bertopi merah itu lagi?” Gumam Henis. Ini yang ke tujuh kalinya dia melihat gadis itu. Berdiri di seberang jalan sambil melihat ke arah toko ibunya lama sekali.
Awalnya, Henis mengira gadis itu berhenti hanya menunggu kendaraan lewat untuk menyeberang. Namun ternyata tidak. Bahkan saat jalanan di depannya sepi, gadis bertopi merah itu hanya diam. Sambil bibirnya sedikit bergerak-gerak lalu pergi.
Tapi ternyata, keesokan harinya gadis itu selalu melakukan hal yang sama. Wah jangan-jangan anak itu mau mencuri! Pikir Henis khawatir. Henis bertekad tidak akan lengah. Bahkan, dia bersiap cerita ke ibunya agar waspada.
Henis biasa membantu ibunya menjaga toko sepulang sekolah. Toko kecil ibunya menjual macam-macam jajanan. Es lilin, mainan-mainan, pita, jepit rambut juga bando. Kadang dia jaga toko sambil membaca, kadang sambil mengerjakan PR.
Namun, sejak menyadari gadis bertopi merah itu selalu berdiri di depan tokonya, Henis menjadi tidak konsentrasi belajar sebelum gadis itu lewat.  Jangan-jangan gadis bertopi merah itu  bermaksud jahat. Jangan-jangan  mau mencuri. Pikir Henis.
Bahkan pernah, Gadis kecil bertopi merah itu senyum-senyum sendiri memandangi tokonya.
Kemarinnya bahkan  mengepalkan tangan  lalu lari, seperti pemain sepak bolak yang baru saja mencetak gol.
 “Permisiii…” Henis tersentak. Kini, gadis bertopi merah itu berdiri tepat di depan etalase tokonya.
“Kk…kamu?!” Henis gemetar.  Gadis itu tersenyum.
“Kamu yang sering berdiri di seberang jalan itu kan?” tanya Henis berusaha tenang. Namun dia bisa mendengar dengan jelas kalau suaranya gemetar.
“Iya,” jawab gadis itu. Senyumnya bertambah lebar.  “Aku mau membeli bando yang ada hiasannya bunga mawar itu.”
“Beli?!” Mata Henis membesar.
“Iya.” Gadis bertopi merah mengangguk. “Sudah beberapa hari ini aku mengumpulkan uang untuk membeli bando itu.” Gadis bertopi merah  mengeluarkan uang dari dalam sakunya. “Semoga saja sekarang sudah cukup.”
“Kau mengumpulkan uang dari mana?” Henis penasaran.
“Aku bekerja mengupas bawang di warung bakso dekat pasar. Agar aku semangat, aku selalu memandangi bando itu sebelum kerja.” Gadis bertopi merah tertawa.
“Owh… ” Henis mengangguk-angguk.
“Jadi, berapa harganya?”
“Itu, ada di bungkusnya.” Henis menunjuk kertas harga warna kuning yang tertempel di plastik pembukus bando. “Tujuh ribu delapan ratus.”
“Lima…enam, tujuh…delapan ratus.” Gadis bertopi merah meletakkan uang kertas kumal dan koin di atas etalase. “Waah…uangku masih sisa. Sekalian bungkus kadonya ya? Yang warna biru itu yang gambar bunga lili.”
“Untuk kado?” tanya Henis.
“Iya, untuk sahabat penaku di desa. Dulu dia memberiku topi merah ini dari uang hasil kerjanya mencari pasir di sungai. Jadi, aku pun ingin memberikan sesuatu dari hasil kerjaku sendiri.”
“Wah, keren banget kamu,” puji Henis dengan kagum. Ternyata gadis bertopi merah itu bukan pencuri seperti dugaannya. Dalam hati, Henis juga merasa malu karena telah berburuk sangka.
“Terima kasih ya sudah belanja di sini,” ucap Henis.
“Sama-sama.” Gadis bertopi merah tersenyum lebar. “Namaku Lili,” dia menyebut namanya sambil mengulurkan tangan.
Henis dan Lili bersalaman. Sejak saat itu mereka menjadi teman.[]

12 komentar:

  1. Ini berapa cws, Kak? Agaknya tidak terlalu panjang. Pesan yang manis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, lupa. Sekitar 1300, kayaknya Mbak. Makasih yaa 😊

      Hapus
  2. Keren Mbak Sbarina. ^_^ Pesannya itu, lho. suka banget

    BalasHapus
  3. Menarik. Selamat ya, mbak. Terima kasih sudah diposting. Kebetulan sedang belajar menulis cernak. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mbak. Semoga lancar yaa, cernaknya 😊

      Hapus
  4. Singkat, renyah dan berkesan lama :)

    BalasHapus
  5. Selalu cetar idenya. Anti mainstream, persahabatan pengupas bawang dan pencari pasir

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...