Minten
masih ingat ketika suatu malam, ada lelaki dan perempuan tua datang ke
rumahnya. Mereka tak pernah menerima tamu sebelumnya. Maksudnya tidak pernah
ada yang benar-benar bertamu ke rumah mereka. Kalau pun ada, biasanya hanya
orang-orang yang pesan daun jati. Itu pun di halaman saja, tidak pernah masuk
rumah.
“Maksud kedatangan kami ini, untuk
melamar Minten.”
Lelaki itu membawa keranjang berisi
gula, teh dan kopi. Begitulah orang-orang di kampung Minten ketika melamar.
Minten
duduk di atas lipatan kakinya, di samping Emak, mendengarkan baik-baik kalimat-kalimat
Emak dan tamunya.
“Ya,
seperti rencana kita beberapa waktu lalu,
menjodohkan anak kita,” kata salah satu
tamu itu.
Minten menatap orang itu, kemudian berpaling
pada emaknya. Dia melihat wanita yang rambutnya menipis dan abu-abu itu
beberapa kali menarik napas panjang. Kemudian, setelah mengusap wajah, Emak
menepuk pundaknya.
“Ada yang melamarmu, Minten,” ucap
Emak, lalu berhenti sejenak.
“Begini,
emak dan orang tuanya dulu pernah bicara untuk menjodohkan kalian.”
Minten
menangkap suara Emak bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
“Tapi
ya, itu terserah kamu. Menerima atau tidak.”
Dijodohkan.
Aneh
sekali rasanya bagi Minten mengucapkan kalimat itu, meski hanya dalam hati.
“Menurut emak, kamu sudah mampu
untuk menikah.” Emak menggenggam tangan Minten, erat. “Kamu mau kan menerima perjodohan ini?”
Tentu
saja, Minten tidak langsung menjawab waktu itu. Dia bertanya, siapa lelaki yang
akan dijodohkan dengannya. Di mana rumahnya, dan seperti apa orangnya.
“Namanya
Jo.”
Minten
menyimpan baik-baik nama itu dalam ingatannya.
“Dia
rajin bekerja dan pintar memanjat pohon-pohon tinggi. Kalau kalian mencari daun
jati bersama, kamu tak perlu khawatir tidak dapat daun.”
Pencari
daun jati. Pekerjaan sama dengan yang
mereka jalani selama ini. Minten mengingat-ingat, beberapa lelaki yang
berpapasan dengan mereka di hutan? Apakah dia pernah melihatnya? atau pernah bertemu
dengannya?
“Dia
pernah menolong kita. Kamu ingat, waktu tali daun jati putus saat hujan deras?"
Itu dua musim lalu.
Itu dua musim lalu.
Minten
diam, mengingat seorang lelaki yang waktu itu dengan sigap mengambil satu tali
yang melingkat di pinggang dan mengikat daun jati yang
berserakan. Lelaki itu mengangguk, ketika Emak mengucapkan terima kasih.
Kemudian pergi begitu saja setelah tersenyum pada Emak, tanpa melihat ke arah
Minten yang berteduh di bawah pohon.
Mengingat
itu, Minten hampir tak bisa tidur semalaman. Esoknya, berkali-kali emak mendesak
meminta jawaban. Tetapi gadis itu ragu, bagaimana mungkin, dia menerima seseorang
yang menatapnya pun tidak mau?
“Kamu
boleh menolak.”
Minten
menggigit bibir mendengar kalimat Emak. Dia tahu, saat itu, Emak justru
berharap Minten menerima.
Perjodohan itu, sejujurnya sungguh
mengejutkan Minten. Mereka hanya berdua sepanjang ingatannya. Minten dan emak menjalani
hari-hari memetik daun jati, dari gadis
itu belum bisa memegang sabit, hingga
kini dia kuat menggendong dua ikat besar daun jati.
Jadi, kalau tiba-tiba dia menikah
dan hidup bersama orang lain, dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya?
“Emak sudah tua. Bisa sewaktu-waktu
menyusul bapakmu,” kata Emak lagi. “Kalau kamu menikah, kamu tidak akan sendiri
jika emak pergi.”
Lalu Emak menjelaskan tentang
kehidupan dan kematian. Tentang pergi dan meninggalkan. Tentang
pikiran-pikirannya akan Minten. Emak juga mengatakan perihal kehormatan seorang gadis. Tentang
tanggungjawab Emak akan dirinya pada Gusti Allah kelak. Minten memeluk emak
pagi itu, sambil mengangguk, menerima perjodohan dengan Jo.
***
Dan hari pernikahan itu pun tiba.
Tidak ada tenda terpasang di halaman seperti orang-orang. Tidak ada suara musik
dan lagu-lagu yang diputar dengan pengeras suara. Tidak ada. Hanya beberapa
tetangga dekat datang. Dan sedikit kesibukan di dapur yang ditingkahi tawa
ibu-ibu tetangga.
Emak
membelikan Minten kebaya ungu dan kerudung renda-renda. Minten belum pernah
merasakan kebahagiaan seperti itu saat memakai baju. Baju terindah yang dia
miliki sepanjang usianya.
“Minten, ayo salaman sama Tarjo. Dia
sudah sah menjadi suamimu.”
Minten
terkejut. Tiba-tiba di depannya sudah berdiri Jo. Lelaki itu tersenyum sambil
mengulurkan tangan padanya. Senyum yang tiba-tiba membuat lutut Minten
gemetaran. Lalu, dengan gugup dan pipi merona, Minten menyambut uluran tangan
itu.
Orang-orang
melihat mereka dengan mata berkaca-kaca. Minten bahkan memergoki Emak berkali-kali mengusap air mata yang menggarisi
pipi keriputnya.
***
Paginya,
Minten dan Jo pergi ke hutan untuk mencari daun jati. Memang begitulah pekerjaan
mereka. Mencari daun jati untuk dijual pada pembuat tempe. Minten pernah
dengar, kalau akhir-akhir ini orang-orang kembali lebih menyukai tempe-tempe
bungkus daun daripada bungkus plastik.
Tiba-tiba
Jo menghentikan langkahnya.
“Akku,
ukka amma ammu!” ucap Jo.
Minten
berdiam sejenak, mencoba memahami apa yang diucapkan Jo. Lelaki itu meraih
tangan Minten, dan membawa ke dadanya. Jo mengucapkan kalimat itu sekali lagi,
dengan nada yang sama. Minten tersenyum dan mengangguk.
“Kasihan sekali ya, Tarjo dan Minten itu, sama-sama
keterbelakangan kok dinikahkan.”
“Lha
iya. Bagaimana ya mereka kalau komunikasi?”
“Ah,
yang tidak jelas itu ya orang tuanya, sama-sama begitu kok dijodohkan.”
Dua
orang ibu-ibu berjalan melewati mereka
sambil bercakap-cakap. Minten menelan ludah. Sejak kecil, dia memang tidak mengeluarkan
kata-kata dari bibirnya. Tapi, Minten selalu memahami apa yang diucapkan
orang-orang. Telinganya jelas menangkap semua suara.
“Akku
ukka amma ammu!” kata Jo lagi. “Ejak aunn atti emmak uttus.”
Minten
bisa merasakan apa yang diucapkan Jo sungguh-sungguh. Dia menangkap itu jelas
dari nada suara dan kilau mata Jo. Minten mengangguk, tersenyum. Jo juga.
Dengan beberapa huruf yang hilang dari setiap kata yang diucapkan, lelaki itu
meyakinkan, agar Minten tak perlu mendengarkan kata orang tentang mereka.
“Allah
ebbih ahhu,” ucap Jo sambil menunjuk atas.
Lalu
sepanjang jalan menuju hutan Jati, mereka terus melangkah bersisian. Dalam
hati, Minten melagukan tembang daun Jati yang dulu sering dinyanyikan emak
untuknya.
Daun-daun jati, gugur
untuk tumbuh kembali
Jangan sedih hati, apa
yang diberikan Illahi.
Biarkan orang-orang
menghina.
Asal
kita tak hina di hadapan-Nya.[]
Keren cerpennya, mba. Btw, tembang daun jati itu memang ada ya, mba Eni?
BalasHapusMakasih Ila, 😊
HapusNggak tahu ada apa gak, itu muncul begitu saja saat aku mengakhiri cerpen ini 😊
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMeleleh bacanya, mbak Eni.
BalasHapusMbak Vanda,makasih sudah mampir 😊
HapusSpeechless. Suka banget dengan cerpen ini. Ajarin aku nulis lembut begini, dong. :)
BalasHapusCeritanya sangat menarik. Senang sekali dapat berkunjung ke laman web yang satu ini. Ayo kita upgrade ilmu internet marketing, SEO dan berbagai macam optimasi sosial media pelejit omset. Langsung saja kunjungi laman web kami sboplaza.com ya. Ada kelas online nya juga lho. Terimakasih ^_^
BalasHapus