Kamis, 30 Maret 2017

Sebuah Nama di Tepi Pink Beach [Kawanku no 18]



Pink Beach
Menuruni bukit Sulphurea Hill, berlari di antara barisan  lontar
Aku melawan arah angin yang menampar-nampar bunga jarak tinthir
Kutulis sajak kecil di atas  pasir merah muda
Tentang huruf berserakan dari percakapan kita
“Wow.” Begitu tanggapanku setelah membaca puisi itu. Lalu berderet-deret ke bawah kami berbalas komentar tentang pantai dengan pasir merah muda itu.
Pernah juga suatu hari aku ditandai dalam catatannya yang lain.

Di Lasiana
Aku pemuda Rote, menunggumu di sini
Telah kusiapkan tuak 
yang kusadap dari pohon lontar yang berdiri tegak
datanglah, Nona, di tepi pantaiku yang masih menyisakan pesonanya,
Lasiana


“Tuak?!”
“Nira lontar, Hen. Rasanya manis, asam dan agak sepat. Kau harus mencicipinya suatu hari,” balasnya
“Mirip nira aren?” Aku masih penasaran.
“Aku belum merasakan nira aren sih. Barangkali kau mau mengirimiku? Dengan senang hati kuterima."
Aku tertawa.
"Di sini  gula dari nira lontar dimasak langsung di tepi pantai Lasiana. Ini salah satu atraksi gratis. Turis-turis bisa langsung mencicipi.”
Namanya Essen Bessie. Kami kenal sejak SMA, di awal-awal aku punya facebook. Entah siapa dulu yang mengulurkan pertemanan, aku lupa. Yang kuingat, dia adalah salah satu teman yang catatannya kental nuansa lokal. Dia tak pernah melewatkan namaku dalam tanda di catatan maupun photonya. Sesekali dia mention aku pada statusnya. 

-Sepiring nasi hangat ditemani se’i sapi tumis, sambal lu’at dan irisan tomat segar. Colek Henis LS, ah biar ngiler-


Pernah suatu hari, Essen menandaiku di photo profilnya yang baru. Dia sedang tersenyum, dengan jempol teracung ke arah topi di kepalanya.
Sombrero?”
“Ti’i langga. Topi kebangga orang Rote.”
“Wow! Keren.”
“Memang. Zaman dulu, jika seorang pemuda memakai Ti’i langga dia akan terlihat gagah, dan menarik hati gadis-gadis.
“Dongeng?”
“Tidak, buktinya saat aku pakai ini, memang menarik perhatian seorang gadis.”
“Tentu saja bukan aku!”
“Hahaha….”
Dan semua cerita Essen tentang Nusa Tenggara Timur, sepertinya telah membuatku jatuh hati. Terutama perihal pantai dengan pasir berwarna merah muda.
            Maka, saat ada kuis yang hadiahnya jalan-jalan ke pulau Komodo, aku tak mau melewatkannya. Setiap hari aku berdoa agar aku bisa menang. Dan kini, ketika aku benar-benar menjadi salah satu pemenangnya. Rasanya separuh dunia berada dalam genggamanku. 



***
            “Kamu janjian ya sama dia?” tanya Lyta teman satu kosku.
            Aku menggeleng.
            “Tapi dia tahu kan kalau kamu akan ke sana?”
            “Nggak juga.”
            “Kamu nggak ngasih tahu dia?” bola mata Lyta mengikuti gerakanku. Aku angkat bahu sambil mengenakan kardigan rajutku. “Bukannya sejak dulu kamu ingin bertemu dengannya?” Lyta menyambung pertanyaannya.
            “Aku ingin ke tanahnya bukan berarti aku ingin menemuinya.” Kututup ranselku yang gemuk. Lalu menggendongnya.
            “Kamu jatuh cinta padanya, Nis. Tapi kamu menutupinya.”
            Aku tersenyum.  Tak mengeluarkan kata-kata bantahan.
Aku dan Lyta menjadi sahabat dekat  sejak kami menjadi penghuni kos ini. Dan dia sedikit banyak tahu tentang aku. Menceritakan NTT mau tidak mau aku harus menyebut nama Essen. Tapi ada satu hal yang tidak kuceritakan pada Lyta, tentang hatiku.
            “Ya udah, hati-hati ya?” Lyta memelukku, “semoga selamat sampai kembali ke sini. Jangan lupa bawaain aku pasir merahnya?!” Lyta tersenyum.
            Aku mengangguk. “Makasih Lyt.”
***




Inilah saat yang mendebarkan bagiku. Hari menuju Pulau Komodo. Ternyata rombongan perjalanan ini banyak. Tidak seperti yang aku bayangkan hanya ke sana dengan pemenang saja. Kami satu rombongan dengan puluhan jurnalis Indonesia dan asing. Mereka mendapat kesempatan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia untuk mengeksplorasi keindahan Taman Nasional Komodo.
            Perjalan pun dimulai dengan naik pesawat menuju Denpasar Bali. Dari Denpasar,  kami naik pesawat kecil selama kurang lebih satu jam menuju Labuan Bajo, ibu kota kabupaten Manggarai Barat. Aku duduk bersama Mareta, teman sesama pemenang.
            Dari sana perjalanan selanjutnya menuju pulau Komodo dan pulau Rinca  ditempuh lewat jalur laut.
            Matahari baru terbit ketika kami tiba di pintu utama masuk Loh Liang. Kantor sekaligus pos jaga bagi Renger. Beberapa petugas dengan peralatan lengkap memandu perjalanan kami, menyusuri padang sabana yang gersang menuju hutan asam.
            Kami terus berjalan sambil mendengarkan  penjelasan  pak  Ande tentang TNK. Kupikir di sini hanya ada komodo, ternyata ada juga rusa, babi hutan, dan puluhan jenis burung.
Setelah puas bekeliling, kami kembali menaiki kapal menuju Pink Beach.  Pantai pasir merah itu.
Berkali-kali aku mencubit diriku sendiri. Ada debaran aneh di dadaku. Terharu sekali. Sungguh, kalau saja tidak karena malu mungkin air mataku sudah kubiarkan jatuh sejak tadi.
Semakin kusadari aku berada di tanah ini, entah mengapa debaran jantunku rasanya tidak normal. “Allah, ada apa ini?” Berulang aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan-pelan. Begitu turun dari kapal aku langsung berlari ke tepi pantai dan berselonjor kaki di atas pasir merah muda.
“Pink Bech.” Aku berucap sambil memenuhi genggamanku dengan pasir.
Sekonyong-konyong, aku mengucapkan puisi Essien, yang kuhafal di luar kepalaku.
 Dulu, aku pernah berkhayal. Jika suatu hari bisa datang ke pantai ini, aku berharap bisa bertemu Essen.
Kami bersahabat begitu lama.  Munafik kalau aku mengelak hanya tertarik pada cerita tentang tanahnya. Sesungguhnya, dalam hati yang kututup rapat, aku memang mengangumi Essen. Mungkin hal itu pula, yang membuat semua hal yang diceritakan Essen begitu mengagumkan. Hingga suatu hari Essen bicara serius.
“Aku ingin jujur tentang satu hal padamu, Hen.”
“Apa?”
“Tapi aku mau kau janji tidak marah.”
“Tergantung tentang apa.”
“Aku juga minta setelah aku mengatakannya, kau melupakannya saja, ya?!”
“Apa sih ribet amat?” perasaanku mulai tidak enak.
“Aku jatuh cinta sama kamu.”
Seketika aku  membeku.
“Tapi, aku pikir tak mungkin. Aku tahu, kau begitu kuat memegang keyakinanmu, begitu juga aku dengan aku. Tapi apapun itu, aku sudah bahagia bisa menyatakan perasaanku ini padamu. Maafkan aku, Hen. Aku menghormatimu sebagai seorang yang kucintai.”
Aku menggigit bibir. Masih kuingat dengan jelas kalimat-kalimat itu. Ya, aku memahami. Dan harusnya sejak awal aku tak membiarkan perasaan ini tumbuh.
Semestinya seseorang akan  bahagia ketika orang yang diam-diam dicintainya menyatakan perasaannya. Lalu mereka membahas kemana arah cinta itu. Namun yang terjadi padaku justru sebaliknya. Dia mengatakan perasaannya bukan untuk melamarku. Dia menyatakan cintanya bukan ingin memilikiku. Dia hanya ingin aku tahu. Hanya itu. bahkan dia tidak bertanya apa aku juga memiliki rasa yang sama.
 Dan aku lega, meskipun aku tak mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Biarlah ini menjadi rahasiaku sendiri. Karena mengatakan itu, sama artinya aku semakin memperberat perasaanku. Ya, tidak ada yang perlu kusesalkan, bahwa aku pernah mengenal Essen dalam hidupku. Kami memang mempunyai halaman dengan rasa dan warna yang sama, namun dalam buku yang berbeda. Dan di sini aku berjanji, aku tak akan pernah lagi menangis diam-diam karena perih yang kurasakan.
“Heniiiiiiiiiiiiiiiiiiis!”
Aku memejam. Seruat wajah tersenyum dengan Ti’i langga di kepalanya. Allah telah  mengabulkan doaku dengan memberiku kesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah ini. Mungkin itu cara Dia mengobati  perihku. Aku membuka mata kembali, lalu kutulis sebuah nama dengan telunjukku.
 “Hoooiiii…!”  Aku menoleh sembilan puluh derajat.  Mareta berteriak. Tangannya memberi isyarat untuk cepat. Orang-orang sudah menuju kapal.
Tak ada pertemuan di Lasiana, apalagi menikmati gula lontar bersama. Cukup bagiku telah datang ke pantai ini dan melepaskan sebuah nama yang selama ini menghuni hatiku. Selamat tinggal Pink Beach. Selamat tinggal Essen.[]



Cerpen ini saya tulis tahun 2012. Dikirim ke Kawanku Agustus 2016 dan dimuat September 2016. Idenya dari hal-hal yang tidak bisa saya masukkan ke cerpen Nyanyian Rindu (fabel komodo) yang dimuat Annida.



7 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...