Pink Beach
Menuruni bukit Sulphurea Hill, berlari di antara barisan lontar
Aku melawan arah angin yang
menampar-nampar bunga jarak tinthir
Kutulis sajak kecil di atas pasir merah muda
Tentang huruf berserakan dari percakapan kita
“Wow.” Begitu tanggapanku setelah
membaca puisi itu. Lalu berderet-deret ke bawah kami berbalas komentar tentang
pantai dengan pasir merah muda itu.
Pernah juga suatu hari aku ditandai
dalam catatannya yang lain.
Di Lasiana
Aku pemuda Rote, menunggumu di sini
Telah kusiapkan tuak
yang kusadap dari pohon lontar yang
berdiri tegak
datanglah, Nona, di tepi pantaiku yang masih
menyisakan pesonanya,
Lasiana
“Tuak?!”
“Nira lontar, Hen. Rasanya manis,
asam dan agak sepat. Kau harus mencicipinya suatu hari,” balasnya
“Mirip nira aren?” Aku masih
penasaran.
“Aku belum merasakan nira aren sih.
Barangkali kau mau mengirimiku? Dengan senang hati kuterima."
Aku tertawa.
"Di sini gula dari nira lontar dimasak langsung di tepi pantai Lasiana. Ini salah satu atraksi gratis. Turis-turis bisa langsung mencicipi.”
Aku tertawa.
"Di sini gula dari nira lontar dimasak langsung di tepi pantai Lasiana. Ini salah satu atraksi gratis. Turis-turis bisa langsung mencicipi.”
Namanya Essen Bessie. Kami kenal sejak SMA, di awal-awal aku punya facebook. Entah siapa dulu yang mengulurkan pertemanan,
aku lupa. Yang kuingat, dia adalah salah satu teman yang
catatannya kental nuansa lokal. Dia tak pernah melewatkan namaku dalam
tanda di catatan maupun photonya. Sesekali dia mention aku pada
statusnya.
-Sepiring nasi hangat ditemani se’i sapi tumis, sambal lu’at dan irisan tomat segar. Colek Henis LS, ah biar ngiler-
Pernah suatu hari, Essen menandaiku di
photo profilnya yang baru. Dia sedang tersenyum, dengan jempol teracung ke arah
topi di kepalanya.
“Sombrero?”
“Ti’i
langga. Topi kebangga orang Rote.”
“Wow!
Keren.”
“Memang.
Zaman dulu, jika seorang pemuda memakai Ti’i langga dia akan terlihat gagah,
dan menarik hati gadis-gadis.
“Dongeng?”
“Tidak, buktinya saat aku pakai ini,
memang menarik perhatian seorang gadis.”
“Tentu saja bukan aku!”
“Hahaha….”
Dan semua cerita Essen tentang Nusa
Tenggara Timur, sepertinya telah membuatku jatuh hati. Terutama perihal pantai
dengan pasir berwarna merah muda.
Maka,
saat ada kuis yang hadiahnya jalan-jalan ke pulau Komodo, aku tak mau
melewatkannya. Setiap hari aku berdoa agar aku bisa menang. Dan kini, ketika aku
benar-benar menjadi salah satu pemenangnya. Rasanya separuh dunia berada dalam
genggamanku.
***
“Kamu
janjian ya sama dia?” tanya Lyta teman satu kosku.
Aku
menggeleng.
“Tapi
dia tahu kan kalau kamu akan ke sana?”
“Nggak
juga.”
“Kamu
nggak ngasih tahu dia?” bola mata Lyta mengikuti gerakanku. Aku angkat bahu
sambil mengenakan kardigan rajutku. “Bukannya sejak dulu kamu ingin bertemu
dengannya?” Lyta menyambung pertanyaannya.
“Aku
ingin ke tanahnya bukan berarti aku ingin menemuinya.” Kututup ranselku
yang gemuk. Lalu menggendongnya.
Aku
tersenyum. Tak mengeluarkan kata-kata
bantahan.
Aku dan Lyta menjadi sahabat
dekat sejak kami menjadi penghuni kos
ini. Dan dia sedikit banyak tahu tentang aku. Menceritakan NTT mau tidak mau
aku harus menyebut nama Essen. Tapi ada satu hal yang tidak kuceritakan pada
Lyta, tentang hatiku.
“Ya
udah, hati-hati ya?” Lyta memelukku, “semoga selamat sampai kembali ke sini.
Jangan lupa bawaain aku pasir merahnya?!” Lyta tersenyum.
Aku
mengangguk. “Makasih Lyt.”
***
Inilah saat yang mendebarkan bagiku.
Hari menuju Pulau Komodo. Ternyata rombongan perjalanan ini banyak. Tidak
seperti yang aku bayangkan hanya ke sana dengan pemenang saja. Kami satu
rombongan dengan puluhan jurnalis Indonesia dan asing. Mereka mendapat kesempatan
dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia untuk mengeksplorasi
keindahan Taman Nasional Komodo.
Perjalan
pun dimulai dengan naik pesawat menuju Denpasar Bali. Dari Denpasar, kami naik pesawat kecil selama kurang lebih
satu jam menuju Labuan Bajo, ibu kota kabupaten Manggarai Barat. Aku duduk
bersama Mareta, teman sesama pemenang.
Dari
sana perjalanan selanjutnya menuju pulau Komodo dan pulau Rinca ditempuh lewat jalur laut.
Matahari
baru terbit ketika kami tiba di pintu utama masuk Loh Liang. Kantor sekaligus
pos jaga bagi Renger. Beberapa petugas dengan peralatan lengkap memandu
perjalanan kami, menyusuri padang sabana yang gersang menuju hutan asam.
Kami
terus berjalan sambil mendengarkan
penjelasan pak Ande tentang TNK. Kupikir di sini hanya ada
komodo, ternyata ada juga rusa, babi hutan, dan puluhan jenis burung.
Setelah puas bekeliling, kami kembali
menaiki kapal menuju Pink Beach. Pantai
pasir merah itu.
Berkali-kali aku mencubit diriku
sendiri. Ada debaran aneh di dadaku. Terharu sekali. Sungguh, kalau saja tidak
karena malu mungkin air mataku sudah kubiarkan jatuh sejak tadi.
Semakin kusadari aku berada di tanah
ini, entah mengapa debaran jantunku rasanya tidak normal. “Allah, ada apa
ini?” Berulang aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan-pelan.
Begitu turun dari kapal aku langsung berlari ke tepi pantai dan berselonjor
kaki di atas pasir merah muda.
“Pink Bech.” Aku berucap sambil
memenuhi genggamanku dengan pasir.
Sekonyong-konyong, aku mengucapkan
puisi Essien, yang kuhafal di luar kepalaku.
Dulu, aku pernah berkhayal. Jika suatu hari
bisa datang ke pantai ini, aku berharap bisa bertemu Essen.
Kami bersahabat begitu lama. Munafik kalau aku mengelak hanya tertarik
pada cerita tentang tanahnya. Sesungguhnya, dalam hati yang kututup rapat, aku
memang mengangumi Essen. Mungkin hal itu pula, yang membuat semua hal yang
diceritakan Essen begitu mengagumkan. Hingga suatu hari Essen bicara serius.
“Aku ingin jujur tentang satu hal
padamu, Hen.”
“Apa?”
“Tapi aku mau kau janji tidak marah.”
“Tergantung tentang apa.”
“Aku juga minta setelah aku
mengatakannya, kau melupakannya saja, ya?!”
“Apa sih ribet amat?” perasaanku
mulai tidak enak.
“Aku jatuh cinta sama kamu.”
Seketika aku membeku.
“Tapi, aku pikir tak mungkin. Aku
tahu, kau begitu kuat memegang keyakinanmu, begitu juga aku dengan aku. Tapi
apapun itu, aku sudah bahagia bisa menyatakan perasaanku ini padamu. Maafkan aku,
Hen. Aku menghormatimu sebagai seorang yang kucintai.”
Aku menggigit bibir. Masih kuingat
dengan jelas kalimat-kalimat itu. Ya, aku memahami. Dan harusnya sejak awal aku
tak membiarkan perasaan ini tumbuh.
Semestinya seseorang akan bahagia ketika orang yang diam-diam
dicintainya menyatakan perasaannya. Lalu mereka membahas kemana arah cinta itu.
Namun yang terjadi padaku justru sebaliknya. Dia mengatakan perasaannya bukan
untuk melamarku. Dia menyatakan cintanya bukan ingin memilikiku. Dia hanya
ingin aku tahu. Hanya itu. bahkan dia tidak bertanya apa aku juga memiliki rasa
yang sama.
Dan aku lega, meskipun aku tak mengatakan
bahwa aku juga mencintainya. Biarlah ini menjadi rahasiaku sendiri. Karena
mengatakan itu, sama artinya aku semakin memperberat perasaanku. Ya, tidak ada
yang perlu kusesalkan, bahwa aku pernah mengenal Essen dalam hidupku. Kami
memang mempunyai halaman dengan rasa dan warna yang sama, namun dalam buku yang
berbeda. Dan di sini aku berjanji, aku tak akan pernah lagi menangis diam-diam
karena perih yang kurasakan.
“Heniiiiiiiiiiiiiiiiiiis!”
Aku memejam. Seruat wajah tersenyum
dengan Ti’i langga di kepalanya. Allah telah
mengabulkan doaku dengan memberiku kesempatan untuk menginjakkan kaki di
tanah ini. Mungkin itu cara Dia mengobati
perihku. Aku membuka mata kembali, lalu kutulis sebuah nama dengan
telunjukku.
“Hoooiiii…!”
Aku menoleh sembilan puluh derajat.
Mareta berteriak. Tangannya memberi isyarat untuk cepat. Orang-orang
sudah menuju kapal.
Tak ada pertemuan di Lasiana,
apalagi menikmati gula lontar bersama. Cukup bagiku telah datang ke pantai ini
dan melepaskan sebuah nama yang selama ini menghuni hatiku. Selamat tinggal
Pink Beach. Selamat tinggal Essen.[]
Cerpen ini saya tulis tahun 2012. Dikirim ke Kawanku Agustus
2016 dan dimuat September 2016. Idenya dari hal-hal yang tidak bisa saya
masukkan ke cerpen Nyanyian Rindu (fabel komodo) yang dimuat Annida.
kalau di Banyuwangi adanya Pulau Merah :D
BalasHapusWaaa? Tanahnya merah?
HapusSelalu suka, lembut dan berkesan sekali.
BalasHapusMakasih, Mbak Naqi
Hapuspengen ke pink beach
BalasHapuskak bisa minta tolong link blogku dihapus aja nggak, atau komennya sekalian. thanks ya
Hapuscerpennya membuat saya terhanyut dlm ceritanya :)
BalasHapus