“Mungkin aku
pulang agak sore,” Lelaki itu membawamu dalam dekapan, sambil mendaratkan
ciuman di ubun-ubunmu.
“Hujan…,” katamu pelan, sambil mendongak pada awan
kelabu yang rendah. Sesungguhnya, kau ingin mengatakan agar suamimu tak pergi
pagi ini. Namun ketika menoleh, lelaki itu sudah mengenakan mantel dan
sepatunya.
Jadi, kau tak berucap apa-apa lagi, selain hanya berdiri
kaku di beranda, menatap langkah-langkah panjang suamimu yang menyeberangi
halaman. Kau menunggu lelaki itu menoleh sebelum berbelok di ujung jalan untuk memberikan
senyuman terakhirnya.
Bukan senyum
terakhir. Kau meralat pikiranmu sendiri. Sekonyong-konyong kau tidak mau
berpikir apapun tentang kata terakhir.
Semua itu hanya membuat perasaanmu kemana-mana. Akhir-akhir ini, kau seringkali
dihinggapi pikiran seperti itu setiap kali dia mau pergi. Barangkali itu cinta.
Rasa takut kehilangan.
“Aku akan pulang
untukmu. Selalu padamu.”
Kau mengulang kembali kalimat yang sering diucapkannya
untukmu. Bagimu itu seperti mantra. Dan kau percaya. Selalu percaya.
“Bagaimana kamu
bisa percaya pada laki-laki yang bahkan tak kau tahu asal-usulnya?” Itu pertanyaan
yang dilontarkan pamanmu beberapa bulan yang lalu, sewaktu kau mengatakan ada
seorang melamarmu.
“Tidak bisakah kamu menikah dengan orang dari desa
sini saja?”
Kau menggeleng. Hanya pria itu yang memikat hatimu,
yang mampu mendatangkan gulungan ombak dalam dadamu. Deburan perasaan yang sama
sekali belum pernah kau rasakan ketika beberapa pemuda mencoba mendekatimu.
“Jangan mudah percaya. Tidak ada yang bisa memberi
saksi apakah dia masih benar-benar seorang diri.”
Kau memang tidak begitu saja percaya. Kau harus tahu,
alasan apakah yang membuat sang pemuda menemuimu, mengutarakan perasaannya pada
pertemuan ke tiga kalian. Banyak
gadis-gadis desamu yang mencari perhatian lelaki itu. Namun kenapa justru
kepadamu dia menyerahkan hatinya?
Karena kau satu-satunya gadis
paling mahal yang pernah kutemui.
Aku harus berjuang keras, bahkan
hanya untuk mendapatkan tatapan dan senyumanmu.
Dan aku tak bisa melepaskan
pikiranku tentangmu.
Maka, aku mengerti, kepadamulah aku
meletakkan hati
Dan, kau hanya bisa berdiri gemetar, ketika lelaki itu
mengirimkan sajak-sajaknya. Sesuatu yang tak pernah kau terima sebelumnya.
“Dia punya banyak rayuan untuk meluluhkan hati
wanita,” begitu kata sepupumu.
“Dia bisa menikahi siapa saja dengan kata-kata,” ucapan
itu seperti bara.
“Kau sedang mabuk dengan puisi-puisinya.”
Karena semua yang ada padamu,
Bagiku adalah puisi
“Dia lelaki
paling gombal yang pernah datang ke kampung ini!” Lagi-lagi, begitu sepupumu
mengingatkan saat kau cerita.
Tapi hanya kau yang mendapatkan surat-surat dengan kalimat
indah yang kata sepupumu gombal itu. Dan kau menyukainya. Membaca
berulang-ulang bahkan hafal di mana letak titik komanya.
“Jangan menyerahkan hidupmu pada lelaki asing. Kapan
saja dia bisa pergi dari sini.” Tak lelah, sepupumu mengingatkan lagi.
Aku memang lelaki asing
Bahkan sebatangkara sejak aku
mengingatnya
Itulah kenapa langkah membawaku
kemana saja
Aku tak punya tempat pulang yang
kusebut keluarga
Dan, bukankah kau juga sebatangkara? Kau tahu
bagaimana rasanya tak punya siapa-siapa?
Aku lelaki yang biasa sendiri, mencari
masalahku sendiri,
menyelesaikannya sendiri, tapi kali
ini, tentang hatiku
Aku tak bisa menyelesaikannya
tanpamu.
Kau terpanah kata-kata. Menghujam, tepat di tengah
dadamu. Bagimu kalimat-kalimat yang menurut sepupumu gombal itu, bukanlah suatu
alasan untuk menolak perasaanmu.
Maka, kaupun membuat keputusan terbesar, setelah
malam-malam pajang menimbang, serta memikirkan. Barangkali lelaki itu adalah
hadiah dari Tuhan.
Dan, lelaki itu hadir nyata. Mengucapkan akad sambil
menjabat erat tangan paman yang selama ini menjadi walimu.
“Mulai saat ini kamu adalah tanggungjawabku. Aku punya
seseorang yang kutuju, dan kau punya aku yang kau tunggu.”
“Apakah itu puisi?”
“Kamulah tempat sajakku berhulu dan bermuara.”
Kau seperti mimpi. Bahagia benar-benar memelukmu. Kau
menjalani hidup baru dengan sepenuh harapan. Tinggal di rumah dinas suamimu—sang
mandor hutan. Sebuah pondok kayu pinus sederhana di pinggir hutan, dua puluh
meter dari jalan aspal, menghadap tepat ke matahari terbit. Dari halaman
rumahmu yang penuh bunga Dahlia warna kuning, sejauh mata memandang adalah
barisan perbukitan yang berlapis-lapis.
Tapi pagi itu, semua diselimuti kabut. Langit seperti
tak kehabisan air untuk dimuntahkan. Kau mengancingkan sweter biru tua,
kemudian merapatkan pintu.
Begitu kau berjalan menuju meja, untuk memberesi cangkir-cangkir
bekas kalian minum teh, suara ketukan
menghentikan langkahmu.
“Ini aku.”
Kau menelan ludah. Itu bukan suara asing. Bergegas kau
membuka pintu.
“Kenapa pu—“
Pertanyaanmu belum selesai, namun lelaki itu telah
merengkuhmu. “Maafkan aku.”
Kau bisa menangkap getar ketakutan suamimu.
“Mereka menjemputku,” bisik lelakimu. “Aku harus
pergi.” Kau bisa merasakan bibir dinginnya menyentuh daun telingamu. “Tapi
percayalah,” nadanya meminta. “Sepanjang hidupku, aku tak pernah mencintai
seseorang seperti cintaku padamu.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Aku harus bertanggungjawab.”
“Jangan membuatku bingung.” Kau gemetar dengan tatapan
memohon.
“Sebelum pindah ke sini, aku pernah terlibat penjualan
kayu, dan....”
Kau melepaskan diri dari pelukan suamimu. Mundur
beberapa langkah dengan lutut gemetar. Wajahmu sewarna kapas randu.
“Maafkan aku…”
Kau menggeleng. Tak lagi berkata-kata. Bahkan ketika
akhirnya, tiga orang polisi membawa suamimu. Kalimat-kalimat yang ingin
kaulontarkan, hanya menjejali tenggorokanmu.
Berjam-jam kemudian, kau masih gemetar di beranda.
Langit muram sepanjang sisa hari itu.
Kini, bermusim-musim setelah hari itu, kau masih selalu
duduk di beranda, dan bertanya pada waktu, bisakah puisi-puisi membalut dukamu?[]
*Catatan Kecil
Cerpen ini adalah naskah juara 3 lomba cerpen Milad Majalah Hadila. Dan dimuat di majalah Hadila Mei 2017
Seperti kebanyakan cerpen saya yang lain, ini bukan cerpen sekali duduk dan lalu jadi. Tetapi telah mengalami beberapa kali penulisan ulang, memotong bagian-bagian lain, membuang salah satu tokoh, bahkan ganti POV sampai tiga kali.
Dan bunga dahlia pun layu...gugur sebelum berkembang sempurna...perih
BalasHapusBungakuuu dahliaa 😂 itu lagunya Mbak hahaha
HapusDuh, melangut bacanya :')
BalasHapusMbak Yulina, makasih sudah mampir :)
HapusSelalu suka deh sama tulisan Mbak Shab. Saya juga ikutan lombanya, tapi jauh dari nominasi. Haha. Selamat atas keberhasilannya Mbak.
BalasHapus