Kamis, 14 September 2017

Perempuan dan Puisi Lembab di Beranda [Cerpen Juara 3 Lomba Majalah Hadila]



 “Mungkin aku pulang agak sore,” Lelaki itu membawamu dalam dekapan, sambil mendaratkan ciuman di ubun-ubunmu.
“Hujan…,” katamu pelan, sambil mendongak pada awan kelabu yang rendah. Sesungguhnya, kau ingin mengatakan agar suamimu tak pergi pagi ini. Namun ketika menoleh, lelaki itu sudah mengenakan mantel dan sepatunya.
Jadi, kau tak berucap apa-apa lagi, selain hanya berdiri kaku di beranda, menatap langkah-langkah panjang suamimu yang menyeberangi halaman. Kau menunggu lelaki itu menoleh sebelum  berbelok di ujung jalan untuk memberikan senyuman terakhirnya.
Bukan senyum terakhir. Kau meralat pikiranmu sendiri. Sekonyong-konyong kau tidak mau berpikir apapun tentang kata terakhir. Semua itu hanya membuat perasaanmu kemana-mana. Akhir-akhir ini, kau seringkali dihinggapi pikiran seperti itu setiap kali dia mau pergi. Barangkali itu cinta. Rasa takut kehilangan.
“Aku akan pulang untukmu. Selalu padamu.”
Kau mengulang kembali kalimat yang sering diucapkannya untukmu. Bagimu itu seperti mantra. Dan kau percaya. Selalu percaya.
 “Bagaimana kamu bisa percaya pada laki-laki yang bahkan tak kau tahu asal-usulnya?” Itu pertanyaan yang dilontarkan pamanmu beberapa bulan yang lalu, sewaktu kau mengatakan ada seorang  melamarmu.
“Tidak bisakah kamu menikah dengan orang dari desa sini saja?”
Kau menggeleng. Hanya pria itu yang memikat hatimu, yang mampu mendatangkan gulungan ombak dalam dadamu. Deburan perasaan yang sama sekali belum pernah kau rasakan ketika beberapa pemuda mencoba mendekatimu.
“Jangan mudah percaya. Tidak ada yang bisa memberi saksi apakah dia masih benar-benar seorang diri.”
Kau memang tidak begitu saja percaya. Kau harus tahu, alasan apakah yang membuat sang pemuda menemuimu, mengutarakan perasaannya pada pertemuan ke tiga  kalian. Banyak gadis-gadis desamu yang mencari perhatian lelaki itu. Namun kenapa justru kepadamu dia menyerahkan hatinya?

Karena kau satu-satunya gadis paling mahal yang pernah kutemui.
Aku harus berjuang keras, bahkan hanya untuk mendapatkan tatapan dan senyumanmu.
Dan aku tak bisa melepaskan pikiranku tentangmu.
Maka, aku mengerti, kepadamulah aku meletakkan hati
Dan, kau hanya bisa berdiri gemetar, ketika lelaki itu mengirimkan sajak-sajaknya. Sesuatu yang tak pernah kau terima sebelumnya.
“Dia punya banyak rayuan untuk meluluhkan hati wanita,” begitu kata sepupumu.
“Dia bisa menikahi siapa saja dengan kata-kata,” ucapan itu seperti bara.
“Kau sedang mabuk dengan puisi-puisinya.”
Karena semua yang ada padamu,
Bagiku adalah puisi
 “Dia lelaki paling gombal yang pernah datang ke kampung ini!” Lagi-lagi, begitu sepupumu mengingatkan saat kau cerita.
Tapi hanya kau yang mendapatkan surat-surat dengan kalimat indah yang kata sepupumu gombal itu. Dan kau menyukainya. Membaca berulang-ulang bahkan hafal di mana letak titik komanya.
“Jangan menyerahkan hidupmu pada lelaki asing. Kapan saja dia bisa pergi dari sini.” Tak lelah, sepupumu mengingatkan lagi.
Aku memang lelaki asing
Bahkan sebatangkara sejak aku mengingatnya
Itulah kenapa langkah membawaku kemana saja
Aku tak punya tempat pulang yang kusebut keluarga
Dan, bukankah kau juga sebatangkara? Kau tahu bagaimana rasanya tak punya siapa-siapa?
Aku lelaki yang biasa sendiri, mencari masalahku sendiri,
menyelesaikannya sendiri, tapi kali ini, tentang hatiku
Aku tak bisa menyelesaikannya tanpamu.
Kau terpanah kata-kata. Menghujam, tepat di tengah dadamu. Bagimu kalimat-kalimat yang menurut sepupumu gombal itu, bukanlah suatu alasan untuk menolak perasaanmu.
Maka, kaupun membuat keputusan terbesar, setelah malam-malam pajang menimbang, serta memikirkan. Barangkali lelaki itu adalah hadiah dari Tuhan.
Dan, lelaki itu hadir nyata. Mengucapkan akad sambil menjabat erat tangan paman yang selama ini menjadi walimu.
“Mulai saat ini kamu adalah tanggungjawabku. Aku punya seseorang yang kutuju, dan kau punya aku yang kau tunggu.”
“Apakah itu puisi?”
“Kamulah tempat sajakku berhulu dan bermuara.”
Kau seperti mimpi. Bahagia benar-benar memelukmu. Kau menjalani hidup baru dengan sepenuh harapan. Tinggal di rumah dinas suamimu—sang mandor hutan. Sebuah pondok kayu pinus sederhana di pinggir hutan, dua puluh meter dari jalan aspal, menghadap tepat ke matahari terbit. Dari halaman rumahmu yang penuh bunga Dahlia warna kuning, sejauh mata memandang adalah barisan perbukitan yang berlapis-lapis.
Tapi pagi itu, semua diselimuti kabut. Langit seperti tak kehabisan air untuk dimuntahkan. Kau mengancingkan sweter biru tua, kemudian merapatkan pintu.
Begitu kau berjalan menuju meja, untuk memberesi cangkir-cangkir bekas kalian minum teh,  suara ketukan menghentikan langkahmu.
“Ini aku.”
Kau menelan ludah. Itu bukan suara asing. Bergegas kau membuka pintu.
“Kenapa pu—“
Pertanyaanmu belum selesai, namun lelaki itu telah merengkuhmu. “Maafkan aku.”
Kau bisa menangkap getar ketakutan suamimu.
“Mereka menjemputku,” bisik lelakimu. “Aku harus pergi.” Kau bisa merasakan bibir dinginnya menyentuh daun telingamu. “Tapi percayalah,” nadanya meminta. “Sepanjang hidupku, aku tak pernah mencintai seseorang seperti cintaku padamu.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Aku harus bertanggungjawab.”
“Jangan membuatku bingung.” Kau gemetar dengan tatapan memohon.
“Sebelum pindah ke sini, aku pernah terlibat penjualan kayu, dan....”
Kau melepaskan diri dari pelukan suamimu. Mundur beberapa langkah dengan lutut gemetar. Wajahmu sewarna kapas randu.
“Maafkan aku…”
Kau menggeleng. Tak lagi berkata-kata. Bahkan ketika akhirnya, tiga orang polisi membawa suamimu. Kalimat-kalimat yang ingin kaulontarkan, hanya menjejali tenggorokanmu.
Berjam-jam kemudian, kau masih gemetar di beranda. Langit muram sepanjang sisa hari itu.
Kini, bermusim-musim setelah hari itu, kau masih selalu duduk di beranda, dan bertanya pada waktu, bisakah puisi-puisi membalut dukamu?[]

 *Catatan Kecil
Cerpen ini adalah naskah juara 3 lomba cerpen Milad Majalah Hadila. Dan dimuat di majalah Hadila Mei 2017
Seperti kebanyakan cerpen saya yang lain, ini bukan cerpen sekali duduk dan lalu jadi. Tetapi telah mengalami beberapa kali penulisan ulang, memotong bagian-bagian lain, membuang salah satu tokoh, bahkan ganti POV sampai tiga kali. 



5 komentar:

  1. Dan bunga dahlia pun layu...gugur sebelum berkembang sempurna...perih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bungakuuu dahliaa 😂 itu lagunya Mbak hahaha

      Hapus
  2. Duh, melangut bacanya :')

    BalasHapus
  3. Selalu suka deh sama tulisan Mbak Shab. Saya juga ikutan lombanya, tapi jauh dari nominasi. Haha. Selamat atas keberhasilannya Mbak.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...