Eliza
disergap perasaan aneh, saat semangkuk mie instan dengan potongan-potongan daun
pepaya, tersaji di hadapannya. Aroma pahit dan langu samar, membawa ingatannya
ke sebuah flat di ruas jalan President Nicolau Lobato, Dili.
Waktu itu, Eliza baru pulang kerja ketika melihat Jaime terhuyung,
kemudian ambruk di depan kamarnya.
“Jaime?” Eliza mendekat. “Kenapa?”
Lelaki itu sedikit mengerang sambil bersandar
pada daun pintu yang terbuka. ”Kepalaku pusing.”
Eliza melirik ke dalam. Ruangan sangat kacau.
Beberapa mainan berserak. Baju-baju anak kusut berhambur di tempat tidur. Botol
bekas minuman tergeletak di kaki meja televisi. Eliza menahan napas. Saat itu
dia menyadari kalau Jaime sedang mabuk. Dia bersiap pergi tapi Jaime
mencegahnya.
“Bisa tolong buatkan aku mie dengan daun
pepaya? Bahannya di kulkas.”
Itulah awal Eliza mengenal mie daun pepaya.
Terdengar aneh. Tentu saja dia tak asing dengan mie yang dimasak bersama
berbagai sayuran. Tapi daun pepaya?
“Kebiasaan orang Dili,” kata Jaime ketika
Eliza melontarkan keheranannya. “Daun pepaya bisa menghilangkan efek alkohol.”
Eliza duduk di ambang pintu, menunggui Jaime
menghabiskan makanannya.
“Sorry, jadi merepotkan,” ucap lelaki itu. Dia
menyeka titik keringat di dahinya. “Aku dalam masalah dan tidak sadar berapa
banyak minum semalam.”
Eliza menelan ludah. Benar dugaannya. Jaime
sedang mabok.
“Terus, masalahmu sudah selesai?”
Jaime tertawa. “Belum.”
“Jadi, mabok nggak menyelesaikan masalah ‘kan?
“Ah!” Jaime mendorong mangkuknya dengan
punggung tangan, mengambil air di teko plastik, dan menenggaknya. “Kamu tidak
tahu betapa rumitnya masalahku.”
Waktu itu Eliza sudah sebulan lebih tinggal di
Dili. Sebagai tetangga flat, biasanya dia dan Jaime hanya sekadar bersapa saja.
Dan hari itu, adalah awal pembicaraan panjang mereka.
“Anakku dibawa lari ibunya. Aku tidak
diizinkan untuk bertemu.”
Eliza mulai menebak kenapa kamar Jaime seperti
kapal pecah.
“Aku merawatnya sendiri sejak bayi. Mencuci
popoknya. Membuatkan susu. Begadang malam sementara pagi harus kerja. Mencari
tempat penitipan paling aman. Dan mendaftarkan ke sekolah yang terbaik di Dili.
Lalu ibunya datang, membawanya begitu
saja. Setiap kutelpon tidak pernah diangkat.”
Eliza menatap Jaime dengan masygul.
“Aku tidak mengerti, Eliz! Aku stress dengan
semua ini! Setiap malam aku mimpi buruk
tentang anakku.” Lelaki itu meremas rambutnya yang kusut.
“Aku turut prihatin.”
“Padahal selama ini aku membebaskan Helen
datang kapan saja. Tidak pernah melarangnya kalau mau membawa Aleixo menginap
di rumahnya. Aku sadarlah sosok ibu sangat penting dalam kehidupan seorang
anak. Aku bisa memberi banyak hal pada anakku, tapi ada hal-hal tertentu
yang hanya bisa dia dapatkan dari
ibunya.”
Eliza mengangguk.
“Sorry, kamu jadi tahu semua ini.” Jaime
menegakkan punggungnya.
“Tidak apa-apa. Ada hal-hal yang bisa
melegakan saat dibagi dengan orang lain.”
Sejak hari itu, Eliza dan Jaime menjadi dekat.
Kadang mereka pulang bersama, berjalan kaki menyusuri jalan President Nicolau
Lobato yang sibuk. Biasanya Jaime yang kantornya lebih jauh naik taxi dan turun
ketika bertemu Eliza.
Sesekali, keduanya pergi ke Café Ermera yang
terletak di Pantai Kelapa. Jaime memesan teh dengan paun oles margarin.
Sementara Eliza memesan secangkir kopi Ermera. Mereka menghabiskan pesanan sambil
berbincang hal-hal ringan.
“Kelak, setelah lama meninggalkan Dili, kalau
dengar lagu ini aku pasti ingat secangkir kopi Ermera,” kata Eliza. Waktu itu,
terdengar suara Sergio Mendez dengan The Fool on the Hill-nya. Kafe itu
memang lebih sering memutar lagu-lagu lama.
“Dan ingat aku,” sahut Jaime.
Eliza tertawa.
“Dan semangkuk mie daun pepaya,” kata Jaime
lagi.
“Dan sepiring ayam gorengmu yang gosong.”
Eliza mengingatkan masakan Jaime yang gosong. Dia selalu mengagumi lelaki yang
mau turun ke dapur. Dan tak menutupi kekaguman itu di depan Jaime.
Lelaki itu terbahak. “Aku tidak pintar masak,
tapi Aleixo memaksaku belajar tentang itu.”
Setiap kali perbincangan mengarah ke nama
Aleixo, Jaime akan diam sejenak. Rautnya berubah. “Anak itu tak pernah rewel.
Apapun rasa masakanku, selalu dibilang lezat dan dihabiskan.”
Setelah itu, biasanya Jaime menjadi murung.
Eliza seringkali bingung harus bagaimana. Tapi dia mengerti Jaime tidak butuh
hiburan. Lelaki itu butuh peneguhan.
“Berdoa terus. Tuhan pasti tak akan menyia-nyiakan
kebaikanmu.”
Banyak hal tentang Jaime membuat Eliza peduli.
Dia bahkan ikut merasakan nyeri setiap Jaime cerita perihal kesedihannya.
Seringkali Eliza diam-diam mendoakan Jaime.
Eliza memang tidak tahu rasanya berjauhan
dengan anak. Tapi dia mengerti rasanya
kehilangan sosok ayah sejak kedua
orangtuanya berpisah. Barangkali, itulah kenapa Eliza selalu dihinggapi semacam
kekhawatiran pada Jaime. Seringkali dia menelepon Jaime jika mereka tak pulang
bersama. Menanyakan sedang apa? di mana? dan apakah baik-baik saja?
Eliza bahkan merasa khawatir berlebih jika di
pagi hari pintu dan jendela Jaime masih tertutup rapat. Kamar mereka memang di
sayap bangunan yang berbeda, dipisahkan oleh dua kamar lain dan tangga.
Biasanya, Eliza akan menelepon Jaime dan memastikan lelaki itu sudah bangun
dalam keadaan baik-baik. Tapi sesekali Eliza berjalan untuk mengetuk pintu
Jaime, jika lelaki itu tak mengangkat teleponnya.
“Kau jatuh cinta padaku, ya?” tanya Jaime.
“Hah?”
Jaime terbahak. “Hanya orang jatuh cinta yang
punya kekhawatiran berlebihan.”
“Aku hanya nggak mau repot-repot cari daun
pepaya, kalau ternyata kamu belum bangun karena mabok.” Eliza mengelak.
Biasanya Jaime akan tertawa lagi, sementara Eliza
mulai mengoreksi diri, benarkah dia selama ini terlalu berlebihan?
“Bagaimana kalau aku yang jatuh cinta padamu?”
tanya Jaime suatu hari.
“Itu tidak mungkin.”
“Kalau mungkin?”
Eliza menggeleng. “Bukan tipe sepertiku yang
kamu cari, Jaime. Dili punya banyak gadis cantik dan seksi.”
Percakapan itu berhenti begitu saja. Dan,
mereka tidak pernah membahasnya. Apalagi kesibukan Jaime yang harus pergi ke
distrik-distrik, bahkan hingga hari libur. Membuat keduanya jarang bertemu.
Eliza masih seperti biasa, mengirim pesan-pesan kepada Jaime untuk bertanya
kabar. Baginya, tak ada yang lebih melegakan selain mendapat jawaban kalau
lelaki itu baik-baik saja.
Sampai suatu hari, Eliza mendapat kejutan,
tepat ketika dia ingin menyerahkan kado untuk ulang tahun Jaime yang terlewat.
Waktu itu, Eliza baru pulang dari kantor dan melihat jendela kamar Jaime
terbuka setelah ke luar kota selama tiga hari.
“Jaime!” panggil Eliza dari luar. “Jaime?” Dia
mengetuk pintu.
Pintu terbuka, “Jaime di kamar mandi.” Di
hadapan Eliza berdiri perempuan memakai
stripe dress kuning. Berambut pirang sebahu, dengan sepasang mata bulat
dan kedua tulang pipi yang tinggi.
“Hai.” Eliza segera menguasai diri. Dia
tersenyum dan mengulurkan tangan. “Eliza.”
“Aurora, pacar Jaime.”
Eliza pernah melihat sosok di hadapannya pada
sebuah papan iklan di Plaza Timor. Dia ingat, Jaime cukup lama memandangi foto
itu. “Aurora, mantanku pas SMA.” Kira-kira
seperti itu yang diucapkan Jaime.
“Ada apa ya?” pertanyaan Aurora menyadarkan
Eliza, kalau dia terdiam cukup lama.
“Tidak apa-apa. Hanya lewat. Kapan kalian
datang?”
“Baru saja.”
“Ooh. Senang berkenalan denganmu, Aurora.”
Eliza segera pamit, dengan kotak kado tetap di
tangannya. Dia mengerti sekarang, Jaime
bukan hanya sibuk dengan pekerjaan, tapi
juga sibuk dengan kekasihnya. Barangkali, ketika Jaime bertanya apakah Eliza
jatuh cinta padanya, lelaki itu hanya memastikan, bahwa Eliza tidak akan patah
hati.
***
“Maafkan aku, Eliz.” Jaime menemui Eliza keesokan harinya.
“Kenapa harus minta maaf?” Ada kegetiran dalam suara Eliza. Dia tahu,
setelah ini semua akan berubah.
“Kau seperti dikirim Tuhan ketika aku terkapar sendirian. Kau membuat
aku tertawa bahkan di saat aku berat untuk tersenyum. Kau juga membuat
sore-soreku menjadi hidup. Tapi…”
“Aurora bisa memberikan lebih dari itu.”
“Tak ada yang berubah diantara kita Eliz. Kita masih bisa pulang
bersama, ke kafe berdua, dan—“
“Tidak lagi.” Eliza menggeleng. “Minggu depan aku balik ke Indonesia.”
“Kenapa?”
“Tugasku sudah selesai.”
“Mendadak?”
Eliza menelan ludah. “Kita sudah sering membahasnya kan? Kau dulu bahkan
ngotot mau mengantarku.”
“Sorry, Eliz. Aku…, tapi mungkin aku bisa mengantarmu sampai bandara.”
Eliza tertawa hambar.
Namun, hingga di hari kepulangan Eliza ke Indonesia, Jaime bahkan tidak
ada di flatnya. Eliza sempat berharap, Jaime akan memberinya kejutan di bandara
Comoro. Nyatanya, hingga pesawat meninggalkan Dili, lelaki itu tak menampakkan
diri. Ponselnya juga tidak aktif.
Sejak hari itu, Eliza tak ingin lagi kembali ke Dili. Apalagi setelah
melihat foto-foto pernikahan Jaime dan Aurora di media sosial. Eliza mengelak
bahwa dirinya patah hati. Namun, seminggu lalu, takdir mambawanya lagi ke sana.
“Aku yang menikah dengannya, tapi kau yang memenuhi hatinya.” Ucapan Aurora
membuat hati Eliza perih.
“Kami hanya berteman,” kata Eliza.
“Tetapi, namamulah yang disebut-sebut saat terakhirnya. Aku sengaja mengundangmu,
agar kau juga tahu, bagaimana rasanya kehilangan.” Suara Aurora terdengar pedih
dan dalam. Saat itu, mereka berdiri di depan gundukan tanah basah, tempat
peristirahatan terakhir Jaime.
Sekarang perasaan itu bercampur dengan
aroma semangkuk mie daun pepaya yang tersaji di hadapan Eliza. Benar dia sedih,
tapi cukup baginya mengenang. Sementara Aurora, wanita itu pasti merasakan luka
sekaligus keperihan yang akan tersandang lama di pundaknya.
Dulu, Eliza berharap Jaime akan selalu mengingatnya. Tetapi kini dia mengerti, pada akhirnya, tak
ada artinya kita abadi di hati seseorang, jika hal itu justru melukai hati
orang lain.[]
Catatan kecil
Draft pertama cerpen ini saya tulis sekali duduk. Tetapi revisinya
berkali-kali. Saya peram selama setahun sebelum menemukan ending yang pas
menjelang DL.
Oh iya, bagi yang sudah baca novel Always Be in Your Heart di sana ada Café
Ermera, dan di sini ketemu Café Ermera lagi, itu memang tempat yang sama. Tempat yang sama juga di
cerpen BOA. Setidaknya, sama dalam fiksi yang saya tuliskan. :)
Ada hal-hal menyenangkan ketika dalam menulis bisa ‘mengunjungi’
kembali tempat yang pernah kita ‘jelajahi’.
Ah rupanya benar...cafe ermera yang itu :)
BalasHapusKalimat akhirnya duh..
Kali ini saya tak berderai air mata seperti biasanya membaca cerpen mba brina. Tapi ngilu...
Iyaa kafe yang ituu. Makasih Mbak dah bacaa :)
HapusSangat menyentuh mbak. Nyeseg, sedih, pilu jadi satu. Pantas saja cerpen ini terpilih di femina. Selamat.
BalasHapusMbak Arinda makasiiih dah bacaa :)
Hapusduhhhhhh hatiku jadi gimana gituuuu
BalasHapusAku juga gimanaa gituuuu
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus😢😭☹️
BalasHapusMakasih dah baca ya
HapusSedihnya mba😭😭😭😭
BalasHapusDoa-doa Eliza pada akhirnya terkabulkan sehingga Jaime bisa menemukan anaknya an hidup bersama. hmmmm cerita yang indah.
BalasHapusAku selalu baca cerita ini setiap kali aku mengingatnya.
Cheers
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus