Senin, 30 Oktober 2017

#Jendela-Jendela [Cerpen Tabloid Genie 2017]



Aurora menatap Jaime yang berdiri kaku di ambang pintu. Buku-buku berserakan di ruang tamu. Ia tak mengucapkan sepatah katapun, hingga lelaki itu bersuara.
“Bukankah sudah kubilang jangan—“
“Beresi buku-bukumu?” Aurora  memotong. “Kau tidak ingin terjadi sesuatu denganku, kan?” wanita itu mengangkat satu sudut bibirnya.
“Aurora?”
“Aku salah mengartikan ‘sesuatu’ yang kau maksud, Jaime.”
“Kau ini kenapa?”
“Masih bertanya?” Bibir Aurora bergetar. “Bukannya  kau  sudah tahu, kalau aku membongkar buku-bukumu akan terjadi sesuatu dengan diriku?”
Mereka baru seminggu menempati rumah itu. Rumah kayu yang dibangun Jaime dengan jendela-jendela besar menghadap ke barat dan ke timur. Jaime yang mengerjakan banyak hal pasca kepindahan mereka. Menata peletakan barang hingga memasang tirai pada jendela-jendela.
Semulanya, Aurora menangkap itu sebagai wujud kasih sayang Jaime. Aurora sedang hamil empat bulan dan Jaime selalu khawatir dia akan kelelahan jika mengerjakan banyak hal.
“Kau ratu di rumah ini.” Begitu kata Jaime. “Tinggal perintah, dan aku yang akan melakukan semuanya.”
Kalimat yang wajar dan terdengar manis. Aurora menerima dengan tulus. Tak ada sebersit kecurigaan apapun bagi Aurora. Bahkan, ketika Jaime juga melarangnya membongkar kardus berisi buku-buku koleksi lelaki itu.
“Aku tak ingin terjadi sesuatu denganmu,” ucap Jaime beberapa kali dengan tatapan lembut yang tak bisa dibantah, lalu disusul dengan kalimat, “aku sayang kamu.”
Tapi Aurora ingin memberi kejutan pada Jaime. Wanita itu tahu, suaminya terlalu sibuk untuk membongkar barang-barangnya sendiri. Aurora bukan orang sakit yang tak kuat melakukan apapun. Dia wanita hamil yang justru merasa bahagia jika berhasil melakukan sesuatu untuk orang yang dicintainya.
Namun ternyata, membongkar buku-buku Jaime adalah sebuah kesalahan. Atau justru itu hal yang benar? Aurora tidak tahu. Yang pasti, sesuatu benar-benar terjadi pada dirinya, ketika sepotong kertas jatuh dari dalam buku.
Sebuah pembatas yang tak biasa. Bergambar seorang wanita  menghadap ke laut, dengan rambut yang dipermainkan angin. “Sejauh apapun jalanmu, doaku tak akan berhenti mengiringimu” begitu tulisan yang ada di baliknya.


Seketika, hawa panas meluap-luap di dada Aurora.  Dia lalu membuka buku-buku berikutnya. Antara berharap dan tidak untuk menemukan sesuatu yang lain. Dan, hatinya ambles ketika mendapati  sebuah  kartu ucapan dalam sebuah buku bersampul kumal.
Seperti daun luruh satu satu, begitulah angka lepas dari penanggalan. Selamat ulang tahun, Jaime.
Lutut Aurora gemetar. Tangannya berkeringat. Tapi dia tak berhenti membolak-balikkan setiap halaman buku. Meski semakin lama, rasa panas menjalari ke seluruh tubuhnya. Di sebuah buku puisi Pablo Neruda, dia menemukan  gambar siluet tangan terentang, yang seakan ingin memetik matahari.
Kelak, bangunlah sebuah rumah dengan jendela menghadap ke timur dan ke barat.
Aurora terhempas di kursi rotan. Dia menatap nanar sekeliling rumahnya. Jelas dalam ingatannya, ketika Jaime mencorat-coret desain awal rumah mereka. Dan, suara itu segera memenuhi kendang telinganya. “Harus ada jendela-jendela yang lebar. Menghadap ke timur dan ke barat. Dengan begitu, cahaya akan melimpah.”
Betapa kagum Aurora saat itu. Tetapi kini, semua seketika lesap. Dia sama sekali tidak menyangka kalau rumah yang mereka tempati adalah rumah yang dibangun Jaime untuk seseorang yang lain.
Aurora merunut kembali hubungannya dengan Jaime. Dia bertemu lelaki itu ketika masih duduk di kelas satu SMA. Banyak teman lelaki yang menyatakan cinta padanya di saat itu. Tapi, Jaime, adalah orang pertama yang memenuhi hatinya.
Hubungan mereka hanya bertahan empat bulan. Barangkali dua belas tahun jarak usia,  membuat keduanya sering berbeda pendapat. Mereka sama-sama keras kepala. Jaime selalu menuntutnya bersikap dewasa, sementara Aurora meledak-ledak di masa remajanya.
Aurora beberapa kali menjalin hubungan dengan lelaki lain. Namun semuanya tak bertahan lama. Sementara dia juga tahu, kalau setelah berakhirnya hubungan mereka, Jaime dekat dengan wanita. Aurora memang tidak bisa memastikan status hubungan mereka. Tapi melihat keduanya tertawa-tawa di sebuah kafe kopi, sekonyong-konyong  rasa cemburu menyergap Aurora.
Sejak saat itu, Aurora bertekad ingin kembali mengambil hati Jaime. Sayang, waktu tak seketika berpihak padanya. Baru tiga tahun kemudian, kesempatan itu datang. Mereka bertemu di sebuah pesta pernikahan. Hal yang justru tidak direncanakannya.
Aurora dan Jaime sama-sama datang sendirian. Dari sana, semua berawal lagi. Mereka kembali  dekat. Namun, Jaime tak lagi memintanya menjadi kekasih, melainkan melamarnya sebagai istri. Aurora tak menolak. Bahkan, meskipun keputusan itu ditentang oleh seluruh keluarganya. Semuanya menyayangkan masa depan Aurora.
“Kau baru lulus SMA. Masih terlalu muda untuk memikul beratnya pernikahan.” Begitu kata mamanya. Tapi bagi Aurora menikah adalah jalan, bukan sebuah beban. Dan dia tak perlu mengejar masa depan yang lain, karena semuanya yang dia inginkan ada pada Jaime.
Bulan-bulan pertama, Jaime memperlakukan Aurora dengan sangat manis. Lelaki itu bahkan selalu mendahulukan kepentingan Aurora. Tak ada yang janggal. Tak ada yang membuatnya curiga. Media sosial Jaime bahkan bersih dari kunjungan sosok yang tak ingin dia sebut namanya.
Sungguh, Aurora sama sekali tak menyangka, kalau Jaime banyak menyimpan kenangan perihal wanita itu.
Kini, setelah ia tahu semuanya,  melihat Jaime di ambang pintu, sesuatu terasa mengaduk-aduk perutnya.  Emosi yang sejak tadi tersulut, menjadi semakin berkobar.
“Ini, kan?” Aurora melempar pembatas-pembatas buku berbagai ukuran ke arah Jaime. Kertas-kertas itu melayang dan jatuh berserak di dekat kaki lelaki itu.
“Aku tak sudi tinggal di rumah yang kau tujukan pada kekasih gelapmu, Jaime!”
“Tidak ada kekasih gelap, Aurora—“
“Harusnya aku menuruti orangtuaku, bahwa lebih baik aku mengejar cita-citaku, daripada menyerahkan masa depanku kepadamu!”
“Aurora, kamu salah—“
“Ya aku salah! Aku salah telah memilih menikah denganmu!”
“Dengar aku.”
“Apa tidak cukup mata dan telingaku yang selama ini hanya tertuju padamu!” Aurora meledak.
Jaime menubruknya. Membawa Aurora ke dadanya. “Hanya ada kamu, oke!”
Aurora berusaha melepaskan diri. Tapi pelukan Jaime semakin kuat.
“Oke! Aku punya masa lalu, tapi aku memilih menikah denganmu. Berjanji pada Tuhan untuk terus bersamamu. Apa itu tidak cukup, Aurora?”
“Kau memang bersamaku, tapi kau terus membawa kenanganmu dengan wanita itu, Jaime!” Suara Aurora meninggi.
“Sudah kubilang, jangan bongkar barang-barangku. Karena kau pasti salah paham.”
“Kau tidak pernah cerita padaku. Tidak terbuka tentang semua ini, Jaime.” Aurora mulai terisak.
“Aku tak suka mengungkit masa lalu.”
“Tapi ini rumah impian masa lalumu kan?”
“Jangan mempermasalahkan hal-hal yang sepele, oke!”
Aurora benar-benar melepaskan diri dari pelukan Jaime. “Sepele?” Matanya menatap tajam. “Kau bilang ini sepele?” Ada genangan air yang siap jatuh. Tapi ia buru-buru mengusapnya dengan kasar. “Kita berpisah, atau kau mengubah jendela-jendela rumah ini?”
“Jangan seperti anak kecil, Aurora!”
“Aku memang anak kecil. Aku tak takut untuk memilih hidup bersamamu. Sekarang aku juga tak takut jika harus berpisah denganmu!”
Aurora berlari ke kamar. Dia menarik koper dengan asal. Membuka lemari dengan kasar dan meraup bajunya sembarangan. Aurora memejam ketika air matanya luruh. Rahangnya mengeras. Pundaknya terguncang-guncang.
Setelah Aurora mengorbankan sekolahnya demi Jaime, dia harus dihadapkan pada pilihan. Mengakhiri pernikahan dengan janin di kandungannya. Atau meneruskan hidup bersama lelaki yang menyimpan nama wanita lain di hatinya?
“Aku akan mengubah jendela rumah ini.” Sebuah lengan kokoh merengkuhnya dari belakang. “Aku minta maaf, Sayang.”
Aurora tak bergerak.
“Semua orang punya masa lalu. Tapi kita hidup untuk masa depan. Jangankan hanya tentang jendela, bahkan, kalau kau ingin kita meninggalkan rumah ini, aku tidak keberatan.”
Aurora ingin sepenuhnya percaya. Tapi semakin Jaime banyak berkata, dia justru merasa kalau kalimat itu hanya untuk menghiburnya saja.
“Aku minta maaf?” suara Jaime memohon.
Aurora masih tidak menjawab. Pandangannya menerobos ke luar jendela kamarnya. Dalam kepalanya, dia menyaksikan siluet dirinya, berdiri sendiri di persimpangan jalan yang sama-sama terjal.[]

*Catatan Kecil
 
Dulu, Kak Rendra pernah mengatakan, "20 ide pertama yang kita buat itu sudah sering dipikirkan orang lain. Jadi buang 20 ide pertama dan buat daftar ke 21 dan seterusnya."
Saya terapkan tips itu untuk cerpen 'Jendela-Jendela'.
Alhamdulillah, berjodoh dengan Genie.
Ditulis tahun 2015, dikirim tanggal 9 Februari 2017 dan dimuat Maret 2017.

3 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...