Emilia
Sekujur
tubuhku rasanya membeku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa setelah 29 tahun
menghirup udara bumi, aku baru tahu asal-usulku. Aku pernah bertemu anak yang
tinggal dengan orang tua tiri. Muridku, bahkan ada yang tidak diharapkan
kehadirannya. Aku juga pernah menggendong bayi tetanggaku yang lahir ke dunia
karena kecelakaan dua orang yang menerobos rambu-rambu Tuhan.
Tetapi,
tentu saja aku sama sekali tak pernah membayangkan menjadi salah satunya.
Berjam-jam aku tak bisa mengenali
perasaanku. Kucoba mencari dijalinan mana diriku berada. Siapa yang pantas
kusalahkan? Papa, wanita yang merawatku,
wanita yang menjadi perantara aku melihat dunia ataukah takdir itu
sendiri?
Dalam
diam aku terus membolak balik kenyataan yang kutemui.
Carolin
membawakan teh manis hangat, sementara Abilio datang dengan terheran-heran.
“Kita
beri waktu Emili untuk sendiri,” kata mama pada Abilio.
Menjelang
malam, Antoni datang. Aku bisa mendengar dia mendapat cerita mama di beranda
sebelum masuk dan menemuiku.
“Emili?”
Lelaki itu menepuk bahuku. Aku menatapnya. Melempar senyum getir. Mataku
memanas. Enam belas tahun lalu, aku patah hati ketika dia pergi. Antoni kakak
lelaki idaman yang selalu ada untuk adik-adiknya. Kalau bisa memaksa, aku ingin
dia tinggal bersamaku. Tapi, Antoni memilih bersama mama. Tentu saja baru saat
ini aku tahu alasan pilihannya.
Malamnya,
mama menggelar tikar di ruang tamu untuk tidur beramai-ramai.
“Matamu
juga punya hak. Lagipula punggungmu bisa kram kalau duduk terus begitu,” kata
Abilio sebelum pergi tidur.
Antoni
mengusap kepalaku, “Istirahatlah. Biar besok pikiran lebih jernih.”
Lalu,
Carolin membawakan selimut. “Kalau perlu ke belakang bangunkan aku, Kak.”
Mama
mematikan lampu minyak besar, dan menggantinya dengan lampu tempel di pojok
ruangan. Wanita itu mendekat, duduk di sampingku, dan membawa kepalaku ke
pelukannya. Aku tidak menolak. Di ceruk hangat itulah air mataku benar-benar
tumpah. Isakan lirihku serasa memenuhi ruang tamu.
“Katanya,
semua orang punya ujiannya sendiri-sendiri. Kamu tak perlu memaksa pikiranmu
untuk mengerti semuanya. Butuh waktu untuk menerima hal-hal mengejutkan dalam
hidup kita.”
Aku
tidak tahu pasti apakah sepanjang malam aku bisa tidur, atau hanya bermimpi. Barangkali
semua orang di rumah ini juga sibuk dengan pikirannya masing-masing tentang
aku.
Ketika
sinar matahari menerobos lewat jendela. Orang-orang sudah tak ada di ruang
tamu. Aku berdiri dan melongok ke luar. Abilio dan Antoni minum kopi di
beranda. Di dapur, suara minyak panas dan letupan kecil menyusul aroma wangi
bawang, ke sana aku melangkah.
“Hei,
Kak, sebentar lagi kita sarapan ya. Kemarin kau tidak makan.”
“Kau
mau teh apa kopi?” Mama menunjuk dua minuman di meja.
“Teh
saja,” Aku mengambil cangkir dan menyesap pelan. Sisanya, satu cangkir yang
berisi kopi diambil mama.
Carolin
menceritakan bagaimana awal mereka di sini. Bagaimana mereka antri sembako tiap
bulan. Tentang tiada hari tanpa ikan asin. Tentang sayuran segar yang langka.
Tentang listri yang belum masuk. Tentang murid-muridnya.
Mama
juga cerita perihal mesin jahit yang dibeli dari pasar Mundu Malaysia dengan
uang tabungan. Lalu giliranku. Aku pun cerita tentang toko buku di Dili yang
kurintis bersama Abilio.
“Dia
ganteng dan baik,” Carolin mengerling. “Ya kan, Ma?” Mama menyetujui.
“Aku
tidak keberatan punya kakak ipar dia.”
“Hus,
kami hanya sahabat.”
“Ya,
yaaa sahabat kehidupan…”
Aku
merasakan kehangatan obrolan santai di dapur ini. Bertahun-tahun lalu, kami
juga sering merecoki dapur saat mama memasak. Sering kali lauk-lauk yang baru
dari penggorengan sudah habis sebelum waktunya makan.
“Kau
biasa masak apa, Kak?”
“Aku…”
Setelah
referendum, dapur bukan lagi tempat yang menyenangkan. Untuk sarapan, papa
menyiapkan paun dengan teh, kopi atau
susu. Makan siang beli --papa yang beli.
Untuk malam, kalau lapar biasanya papa
mengajak makan di luar. Papa sering minta maaf karena tak bisa memasak
seperti mama. Dan sebagai gantinya, aku bisa memilih menu apa saja yang
kuinginkan.
Bertahun-tahun
ritme makan kami seperti itu. Akhir-akhir ini, aku yang sengaja masak kalau
hari libur. Kami akan tertawa-tawa di meja makan, berkomentar hasil masakanku
yang kemana-mana.
Tak
ada yang ganjil dari hidup kami berdua. Aku bisa merasakan cinta dan kasih
sayang papa. Dia memanjakanku sekaligus mengajarkan hal-hal yang seharusnya aku
bisa. Dia ayah sempurna. Aku mengagumi dan memujanya. Sampai kemarin, ketika
semuanya terungkap. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana menyapa, kalau
nanti pulang dan bertemu dengannya.
***
“Apa
tidak sebaiknya tinggal di sini beberapa hari lagi?” tanya Antoni ketika aku mengatakan
ingin ikut Abilio pulang.
“Aku
sudah bilang begitu, bahkan aku mau menjemputnya. Tapi kau tahulah adikmu
sungguh keras kepala.” Abilio menyahut
panjang.
“Aku
tidak minta diantar jemput.”
“Ya
Bil, dia bukan Emili kecil yang manja,” kata Antoni sambil mencibir jenaka.
“Tapi kalau kau mau tinggal dulu, aku bisa mengantarmu sampai bandara,” kali
ini dia menatapku serius.
“Memangnya kau sudah siap pulang?”
Tubuhku
terasa membeku dengan pertanyaan Antoni. Ya, apakah aku sudah siap pulang?
Apakah aku sudah siap bertemu papa? Tetapi apa yang harus aku lakukan di sini?
Kesunyian
menyergap beranda. Aku merasa semua orang diam karena membiarkanku berpikir.
Pada akhirnya, aku memang memutuskan untuk beberapa hari tinggal. Bagaimana pun
juga mereka bukan orang asing dalam hidupku. Mereka tetap memperlakukan aku
dengan hangat.
“Telpon
saja kalau rindu ya?” kata Abilio sambil naik ke boncengan motor Antoni.
“Tidak
akan!”
“Tapi
aku pasti akan.”
Aku
mendengus.
Semua
orang tertawa mendengar percakapan kami.
“Bil
benar, kau pastiakan merindukannya,” Carolin sibuk menggodaku setelah mereka
pergi.
***
Keputusanku untuk tinggal ternyata
tidak salah. Aku punya waktu berbincang banyak dengan Carolin, Antoni, dan
terutama mama. Aku meminta pertimbangan wanita itu apa yang sebaiknya
kulakukan.
Mama memintaku menarik sudut pandang
ke luar persoalan. Memintaku membayangkan seandainya aku jadi mama, jadi papa,
jadi wanita yang telah melahirkanku atau bahkan menjadi diriku sendiri.
“Setiap
keputusan pasti ada alasannya.” Begitu kata mama.
Aku
mencoba memahami keputusan mama pergi dari papa. Barangkali seperti itu juga
yang kulakukan jika berada di posisinya. Lebih dari itu, aku mengagumi
bagaimana dia bertahan dan menerimaku sebagai bagian dari hidupnya. Tentu tidak
mudah. Aku, belum tentu sekuat dirinya. Bahkan di tengah kekacauan hidupnya,
dia mampu berpikir jernih dan membuat berbagai perencanaan untuk Antoni dan
Carolin.
Lalu
papa. Aku tidak mengerti bagaimana semua bisa terjadi. Kepalaku berdenyut
membayangkan kenyataan lain dari orang yang aku kagumi. Tetapi lepas dari itu
semua, apa yang dilakukan padaku tak bisa begitu saja disalahkan. Mungkin,
kalau di posisinya, aku pun tak akan menyerahkan anak yang kurawat kepada orang
asing bagi anakku. Meskipun ibunya sendiri.
Dan
aku? Apakah aku akan terima begitu saja
ikut orang yang tidak kukenal? Apakah di usia tiga belas tahun aku mampu
menerima kenyataan perihal diriku? Bagaimana orang yang seharusnya kupanggil
ibu memperlakukan aku? Benarkah dia tidak mau merawatku dan hendak menaruhku di
panti asuhan? Kenapa? Apakah aku penghalang cita-citanya? Atau jangan-jangan
sebab kehadiranku karena papaku telah mem—
Seketika
aku membungkam mulut. Tubuhku berkeringat. Apa papa sejahat itu? Oh Tuhan. Jika
benar begitu yang terjadi, tentu wanita itu tak bisa sepenuhnya disalahkan jika
tak mau menerimaku hadir dalam hidupnya.
Tuhan…bagaimana
bisa papa seperti itu? Dan kami, kami semua menjadi korbannya? Kami terbelah
bukan karena sejarah negeri kami. Tapi karena sejarah kehidupan papa.
Malam
itu aku kembali menimbang dan berpikir panjang hingga larut.
Paginya
aku memutuskan kembali ke Timor Leste. Kali ini tidak ada yang mencegah. Mama
memelukku sangat lama. “Esperansa,” ucap
mama. “Tetaplah berharap pertolongan
dari Tuhan.” Carolin menggengam tanganku kuat-kuat. Dan Antoni mengantar sampai
Bali. Sesungguhnya dia ingin menemaniku sampai Dili, tapi dia tidak sempat
bikin surat-surat. Seperti waktu kecil, Antoni mengusap kepalaku saat akan
berpisah.
Sepanjang
penerbangan pikiranku ikut mengepak. Begitu pesawat mendarat di bandara Comoro,
Abilio sudah menunggu di sana. Lelaki itu menepuk bahuku. “Siap?” Aku
mengangguk. Belum pernah aku merasa gugup seperti ini untuk bertemu seseorang,
apalagi orang itu adalah papaku sendiri.
***
“Emili?” Papa nampak terkejut dengan
kedatanganku. “Kau tidak memberi kabar.”
Hanya
beberapa hari aku meninggalkannya. Tetapi papa nampak lebih tua. Matanya cekung
dan merah. Aku yakin papa memikirkan bagaimana pertemuanku dengan mama. Atau
justru pertemuannya denganku?
“Papa mengkhawatirkanmu.”
Aku
tidak menjawab.
“Papa minta maaf.”
Aku
masih diam.
“Kau
boleh menghukumku apa saja.” Suara itu serak dan dalam. “Aku memang layak
dihukum.”
“Apakah
aku bisa bertemu dengannya?” Ucapan itu meluncur begitu saja, seperti bukan
suaraku.
“Helen?”
Jadi
namanya Helen?
“Setelah
kau baca ini.”
Aku
menahan napas. Papa membuka kotak kecil di sampingnya. Sepertinya dia sudah
menyiapkan itu sebelum aku datang.
“Helen
titip ini. Dia memintaku memberikan padamu, kapan pun kau siap.”
Surat.
Aku lelah mendapat pesan secara tidak langsung seperti ini. setelah papa, lalu
wanita bernama Helen. Apakah rasa bersalah memang membuat orang tak berani
bicara secara langsung?
Didorong
rasa panasaran, aku menerima surat bersampul coklat yang disodorkan papa.
Kulepas pengaitnya, lalu menarik isinya. Aku menghela napas panjang, membuka
lipatan itu dan menemukan tulisan tangan tegak bersambung.
‘Emilia’
‘Sesungguhnya, aku tidak
tahu, harus memulai surat ini darimana. Tetapi, kalau waktu bisa diulang, tentu
aku tak akan melakukan hal bodoh dalam hidupku. Aku kelas tiga SMA ketika jatuh
hati pada Faustino. Kami bertemu di pesta pernikahan saudaraku. Ada alkohol
dalam pesta itu. Dan dari sana kesalahan bermula. Kesalahan memalukan yang
akhirnya, kau yang harus menerima akibatnya.’
‘Aku memang salah.
Kehadiranmu kuanggap sebagai hukuman dari Tuhan atas norma yang kulanggar.
Kujalani sembilan bulan dalam pengasingan. Semua demi keluarga besar yang
kehormatannya telah tercoreng karena ulahku.’
‘Setelah kau lahir, aku
tidak diizinkan melihatmu. Sama sekali tidak. Aku memohon untuk mendekapmu
sekali saja, tapi keluargaku melarang. Lagi-lagi, aku menerima itu sebagai
hukuman.’
‘Empat bulan berikutnya, aku
harus kembali sekolah. Aku masuk asrama. Kami sekeluarga pindah ke Surabaya.’
‘Aku ke Dili awal 99.
Mencarimu. Saat itu aku ingin
membesarkanmu. Aku ingin menebus kesalahanku. Tapi Faustino melarang.
Dia tidak ingin menyakitimu. Faustino membawamu bertemu denganku dengan syarat,
aku hanya boleh melihatmu dari jauh.’
‘Beberapa waktu lalu Emilia, aku kembali lagi.
Ternyata Faustino belum mau membuka rahasia perihal dirimu. Tapi dia
mengijinkan aku menemuimu di toko bukumu. Tentu saja aku datang sebagai
pembeli.’
‘Kau ingat, wanita dari Indonesia yang meminta foto denganmu
sebagai bukti persatuan dua negara? Itu aku.’
Aku
mengalihkan pandangan dari surat itu. “Toko buku?” tanyaku.
“Hampir
setahun lalu,” jawab Papa.
Meski
aku dan Abilio kerja sama untuk toko buku itu, tapi kesibukan mengajar
membuatku jarang bisa ke sana. Aku mengingat-ingat kapan ada seseorang yang
mengajakku berfoto?
Lalu
sekelebat adegan hadir di ingatanku. Tidak begitu jelas wajahnya. Tapi aku
ingat seorang wanita tersenyum, dan memintaku foto bersama. Aku sama sekali
tidak berpikir apapun. Jadi, wanita itu tempat aku mendekam selama sembilan
bulan sebelum hadir ke dunia?
‘Aku tidak tahu, apakah aku
pantas mendapat maafmu. Tetapi jika suatu hari kau mau bertemu denganku, itu
sebuah kemewahan dan hadiah besar bagiku. Tidak peduli kau memandang bagaimana,
dan memanggilku apa. Aku berharap, kesempatan itu masih ada.’
‘Kapan pun itu, kau bisa
menghubungi emailku…’
Seperti
halnya setelah mendengar rekaman pengakuan papa, aku meringkuk di sofa tanpa
bicara. Papa juga tak bersuara. Berhari-hari kami saling diam dalam kesunyian
canggung. Aku enggan menyapa papa. Papa juga tak bertanya kenapa aku diam.
Berulang
kurunut kepingan pengakuan mama, pengakuan papa, pengakuan Helen.
Dalam
perjalanan ke Bali, Antoni bilang padaku; “Sebagaimana sebagian orang menjadi
ujian bagi lainnya, sebagian lagi adalah perantara takdir bagi yang lain. Kau, aku, Carol…”
Mungkin
benar kata Antoni, bagi mama ini adalah ujian. Bagi Papa dan Helen mungkin juga
benar ini adalah hukuman dan jalan menuju perbaikan bagi hidup mereka, hanya
Tuhan yang tahu. Tapi bagaimana pun juga, papa telah menunjukkan penyesalannya.
Merawat dan menjagaku dengan baik. Menyimpan rahasiaku mungkin sekilas tidak
adil, tapi menahanku untuk tidak menyerahkan pada Helen kurasa cukup bijak.
Aku
sungguh tidak menyangka perjalanan ke Sambas yang penuh harapan, justru membuka
tabir besar dalam kehidupanku. Mama benar, sebagian rasa bersalah tersandang
selamanya pada diri seseorang. Papa juga
mengakui itu. Dan aku, tidak ada yang membahagiakan sama sekali melihat papa
nampak tersiksa dengan diamku.
Ketika
Tuhan mengijinkan aku mengetahui perihal hidupku, layakkah aku membalas dengan
membangun jarak dan menyulut dendam pada orang yang telah berbuat baik padaku?
Seharusnya aku belajar dari mama, yang berusaha melapangkan hatinya.
“Pa,”
Aku menyentuh pundak papa yang mencabuti rumput di halaman. Dia nampak
terkejut. “Ayo kita sarapan.” Lalu tatapannya berubah lega.
“Terima
kasih, Mili.”
Kami
minum teh dan makan paun yang baru saja kubeli.
“Carolin
jadi guru, Antoni jadi petani yang rajin.” Aku berusaha mencairkan suasana.
“Dan mama masih menjahit.” Aku menatap papa, tersenyum melihatnya nampak gugup
saat kusebut kata mama. “Mereka semua menitip salam untuk papa.”
“Ya.”
Papa mengangguk.
“Mungkin
aku akan menghubungi Helen, kapan-kapan.”
“Emili.”
Lelaki itu menaruh cangkirnya. “Papa sungguh-sungguh minta maaf.” Aku menangkap
ketulusan pada dalam matanya.
“Ya,
Pa. Aku belajar banyak hal dari mama.”
“Itu
mengapa aku memintanya yang bercerita kepadamu.”
Aku
berdiri, menggeser kursi dan menghambur ke pelukan papa.
“Terima
kasih. Esperansa ne’e sei iha,” harapan
itu masih ada, bisik papa. Benar kata mama, memaafkan itu melegakan, seperti
kembali ke rumah setelah pengembaraan yang melelahkan.[SELESAI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar