Kamis, 08 November 2018

#SUNGKAWA [Cerpen Terbaik IV Bulan Bahasa UGM]




Sembilan puluh tujuh hari setelah kepergian istrinya, Jokarmo mengatakan ingin menikah lagi. Kalimat itu, meluncur dari bibirnya, dan dengan begitu cepat menyebar ke seluruh kampung.

Di jalan-jalan, di tempat belanja, di pematang sawah, bahkan di penggilingan padi, hingga di pasar, orang-orang membicarakan lelaki itu. Tidak betahkah ia hidup sendiri, sehingga secepat itu mencari pengganti istrinya yang pergi? Atau memang begitu cepat cinta lelaki itu luntur?

Jokarmo lebih enam puluh tahun kini, tanpa tedeng aling-aling, mengatakan kepada beberapa orang, minta  dikenalkan pada wanita yang mau dinikahinya.

Orang-orang kampung, tentu saja seperti disuguhi camilan empuk. Jokarmo yang selama ini dikenal pendiam, tiba-tiba dengan begitu gamblang, mengatakan keinginan yang bagi sebagian orang sebaiknya disembunyikan dulu.

            Maka, mulailah tawaran  datang kepada lelaki yang rambutnya memutih itu.

            “Usianya empat puluh lima tahun.” Begitulah, Samuji, salah satu tetangga yang dia percayai sebagai mak comblang mendatanginya.

“Anaknya satu, sudah menikah dan tinggal di kota.”           

Jokarmo belum menanggapi.

“Menjanda sejak lima belas tahun lalu, ditinggal nikah lagi sama suaminya.”

Jokarmo masih diam.

“Ini fotonya.” Samuji membuka ponsel, dan menunjukkan seorang wanita berbaju kuning yang sedang tersenyum.

Jokarmo menatap layar ponsel.


“Cantik, kan?”

Jokarmo menggeleng. “Aku tidak mencari yang cantik.”

“Yang baik?” sahut Samuji. “Dia baik sekali selama ini.”

Jokarmo menggeleng. Tawaran itu ditolak. Bagi Jokarmo, wanita di layar ponsel itu terlalu muda. Dan entah mengapa tiba-tiba lelaki itu punya perasaan aneh, bagaimana mungkin wanita semuda itu mau menikah dengan manula seperti dirinya.

Maka, begitulah. Perihal penolakan Jokarmo itu pun, lambat laun menyebar juga ke seluruh kampung. Orang-orang mulai membicarakannya. Di jalan-jalan, di sawah, di penggilingan padi, hingga di pasar.

Lalu, datanglah tawaran berikutnya.

“Dia masih perawan,” bisik Samuji sambil mengedipkan mata sebelah.

Jokarmo melotot. “Kamu menghinaku?” Suara Jokarmo meninggi.

Samuji mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. “Jangan marah dulu.”

Raut Jokarmo berubah masam.

“Anaknya penjual kupat tahu di dekat pasar.”

Jokarmo ingat, jika ke pasar, istrinya sering membeli kupat tahu.

“Orangnya ramah dan tersenyum pada siapa saja.” Samuji masih bersemangat cerita. “Tapi ya, memang dia tak banyak bicara.” Suara Samuji rendah.

Jokarmo kembali ingat, bahwa istrinya pernah cerita, anak penjual kupat tahu langganannya itu, memang tak bisa bicara sedari kecil.

“Tapi cantik. Rajin. Tanggap kerjaan rumah, dan  yang pasti pintar masak. Kamu tidak akan kelaparan atau susah-susah masak lagi, bahkan—“

“Aku tidak mencari tukang masak.” Jokarmo berdiri. Pergi, meninggalkan Samuji yang terbengong-bengong sendirian.

Jokarmo  melangkah panjang-panjang menuju ladang. Tanpa bicara apapun, dia mencangkul sekuat tenaga. Menggemburkan bongkahan-bongkahan tanah hingga matahari tak terlihat lagi.

Dan seperti hari-hari kemarin sejak istrinya pergi, Jokarmo akan bangun pagi-pagi. Dia tahu, tak ada lagi aroma kopi di meja kayu dekat dapur mereka. Tujuh hari pertama, adik perempuannya masih menginap di rumahnya. Memasak, membereskan pekerjaan rumah serta  membuatkan kopi.

“Satu sendok kopi, satu sendok gula, untuk cangkirmu.” Jokarmo diajari membuat kopi sendiri. “Tidak sulit kan?”

Tapi, Jokarmo tak pernah sekali pun menyeduh kopi sendiri. Bahkan,  sepanjang hidupnya, lelaki itu hampir tak pernah bersentuhan dengan peralatan dapur. Istrinya selalu memperlakukannya seperti raja. Semua makanan siap santap, tersedia di meja.

“Ini mudah. Beras tinggal dimasukkan, kasih air. Colokkan kabel, dan pencet.” Adik perempuannya mengajari menanak nasi. “Kalau nggoreng telur, caranya—“

“Aku bisa beli!” Tentu saja, Jokarmo tidak mau menghabiskan seharian hanya belajar masak. Namun, adik perempuannya itu, memilih mengalah. Setiap pagi, dia menempuh sembilan kilo meter, mengantar makanan untuk Jokarmo.

***

“Kamu ingin menikah lagi?” tanya adik Jokarmo suatu pagi saat mengantar makanan.

“Setelah seratus hari.”

“Orang-orang membicarakanmu, Kang.”

“Mereka tidak tahu apa-apa.”

“Bagaimana kalau kamu tinggal di rumah kami? Kamu bisa berangkat ke ladang dari sana setiap pagi. Tidak terlalu jauh kan dengan motor?”

“Kalau kamu capek ke sini, aku bisa beli makan sendiri.”

“Ya Allah, Kang. Maksudku bukan begitu.” Adiknya menatap dengan raut muram. “Di sana kan kita bisa rame-rame.”

“Aku tidak kesepian,” sahut Jokarmo. Kemudian lelaki itu berdiri, mengambil cangkul dan pergi begitu saja.

Baru sampai di ladang, Samuji berlari-lari menyusulnya.

“Kali ini sesuai keinginanmu.”

Jokarmo menatap Samuji, penuh harap.

“Janda tua. Miskin. Tidak punya siapa-siapa. Maksudku anak-anaknya sudah tinggal bersama keluarganya masing-masing.

“Siapa?”

“Mbah Sibun. Desa sebelah. Aku memang belum menanyainya. Apa dia mau apa tidak. Aku tanya kamu dulu. Takutnya kamu menolak lagi. Tapi aku yakin. Kali ini, kamu pasti menerima.” Seperti biasa, Samuji selalu semangat.

Jokarmo mengingat-ngingat, apakah dia pernah bertemu dengan Sibun?

“Kasihan dia. Pasti butuh teman hidup. Sudah lama sakit-sakitan.” Samuji menambah keterangannya.

Jokarmo menatap tajam pada Samuji.

“Cocok? Mau?” tanya Samuji sambil mengedipkan mata.

“Aku nyari istri, bukan mau merawat orang sakit!”

Dan seperti biasa. Jokarmo meninggalkan Samuji tanpa berkata-kata lagi.

“Duh Gusti. Embuh Jo. Embuh!” Teriak Samuji. “Aku tidak tahu lagi yang bagaimana yang kamu cari.”

Teriakan itu menyulut emosi Jokarmo. Dia berharap Samuji tahu, wanita bagaimana yang dia cari. Tentu saja bukan janda muda. Bukan pula gadis yang pintar masak itu. Berkali-kali Jokarmo merutuk dalam hati, kalau seharusnya Samuji mengerti. Sekarang, temannya itu malah menawarkan nenek tua sakit-sakitan? Kali ini, Jokarmo benar-benar emosi.

Dia mencangkul seperti orang yang kerasukan. Keringat membasahi bajunya.   Menetes-netes dari ujung rambutnya yang lepek. Wajahnya, lengannya, yang kecoklatan,  berkilauan oleh cahaya matahari.

Begitulah, hingga seratus hari setelah kepergiannya istrinya. Jokarmo belum mendapatkan wanita yang cocok untuk dinikahi.
***

“Kamu tadi tidak ke makam?” Malam itu, ba’da  mengirim doa selamatan, setelah orang-orang pulang, adik Jokarmo bertanya pelan.

“Orang-orang membicarakanmu.”

Bibir Jokarmo terkatup rapat.

“Katanya kamu tidak terlihat ke makam. Ada yang bilang, bahkan karena kamu sibuk mencari istri sampai-sampai lupa, kalau kamu seharusnya berziarah.”

Air muka Jokarmo berubah keruh.

“Padahal aku sudah mengingatkanmu sejak pagi. Aku juga sudah membelikan bunga.”

“Besok.” Sahutan itu serak dan dalam, mengakhiri percakapan malam mereka.

***

            Paginya, dengan mengayuh sepeda unta, Jokarmo pergi ke pasar. Dia menghentikan kayuhannya di depan penjual bunga.

            “Bunga, Pak?”

            “Satu bungkus.”

            Wanita itu mengambil selembar daun pisang. Dan dengan cekatan, meracik beberapa bunga, menyematnya dengan lidi dan menyerahkan pada Jokarmo.

            Hari itu, untuk pertama kalinya, sejak kepergian istrinya, Jokarmo pergi ke makam. Lelaki tua itu, duduk lama di depan pusara istrinya. Dia menabur sebungkus bunga dan pergi dari sana.

            Kesokan harinya. Besoknya. Besoknya. Besoknya. Dan besoknya lagi, Jokarmo melakukan hal yang sama. Pagi-pagi, lelaki itu akan mengayuh sepeda untanya. Berhenti di depan wanita penjual bunga langganannya. Membeli sebungkus dan menaburkan di makam istrinya.

            Kini, seratus lima puluh sembilan hari, setelah kepergiannya istrinya, dia tak pernah sekalipun melewatkan pagi tanpa menaburkan bunga di makam istrinya. Dan, seperti biasanya, orang-orang kampung mulai membicarakannya.

            Mereka bahkan menduga-duga. Apakah Jokarmo memang masih bersungkawa perihal kepergian istrinya? Ataukah lelaki itu jatuh hati pada penjual bunga langganannya? Jokarmo bukan tak mendengar gunjingan itu.Tapi dia tidak merasa terganggu. Baginya, bagi lelaki itu, hidup bukan tentang orang lain, tetapi tentang dirinya.

            “Mereka tidak tahu apa-apa,” bisik Jokarmo lirih, sambil menabur bunga di atas pusara istrinya. "Percayalah padaku, Jah."[]


*Cerpen ini menjadi terbaik empat di gelaran Bulan Bahasa UGM tahun 2017
*Dimuat dalam buku antologi kumpulan cerpen Pemenang Cipta Cerpen Bulan Bahasa 
*Gambar by Canfa

11 komentar:

  1. cerpen mba shabrina selalu manis dan sampai ke hati :)

    BalasHapus
  2. Mbak... nangis aku bacanya. Bagus banget...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Makasih Mbak sudah baca 😊

      Hapus
  3. mantaaap jiwa, mbak, cerpen cerpen e sampean yang sudah muat di media ataupun yang menang perlombaan gk da niat buat jadikan mereka satu kumpulan kah

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...