Sembilan
puluh tujuh hari setelah kepergian istrinya, Jokarmo mengatakan ingin menikah
lagi. Kalimat itu, meluncur dari bibirnya, dan dengan begitu cepat menyebar ke
seluruh kampung.
Di
jalan-jalan, di tempat belanja, di pematang sawah, bahkan di penggilingan padi,
hingga di pasar, orang-orang membicarakan lelaki itu. Tidak betahkah ia hidup
sendiri, sehingga secepat itu mencari pengganti istrinya yang pergi? Atau
memang begitu cepat cinta lelaki itu luntur?
Jokarmo
lebih enam puluh tahun kini, tanpa tedeng
aling-aling, mengatakan kepada beberapa orang, minta dikenalkan pada wanita yang mau dinikahinya.
Orang-orang
kampung, tentu saja seperti disuguhi camilan empuk. Jokarmo yang selama ini
dikenal pendiam, tiba-tiba dengan begitu gamblang, mengatakan keinginan yang
bagi sebagian orang sebaiknya disembunyikan dulu.
Maka, mulailah tawaran datang kepada lelaki yang rambutnya
memutih itu.
“Usianya empat puluh lima tahun.”
Begitulah, Samuji, salah satu tetangga yang dia percayai sebagai mak comblang
mendatanginya.
“Anaknya
satu, sudah menikah dan tinggal di kota.”
Jokarmo
belum menanggapi.
“Menjanda
sejak lima belas tahun lalu, ditinggal nikah lagi sama suaminya.”
Jokarmo
masih diam.
“Ini
fotonya.” Samuji membuka ponsel, dan menunjukkan seorang wanita berbaju kuning
yang sedang tersenyum.
Jokarmo
menatap layar ponsel.
“Cantik,
kan?”
Jokarmo
menggeleng. “Aku tidak mencari yang cantik.”
“Yang
baik?” sahut Samuji. “Dia baik sekali selama ini.”
Jokarmo
menggeleng. Tawaran itu ditolak. Bagi Jokarmo, wanita di layar ponsel itu
terlalu muda. Dan entah mengapa tiba-tiba lelaki itu punya perasaan aneh,
bagaimana mungkin wanita semuda itu mau menikah dengan manula seperti dirinya.
Maka,
begitulah. Perihal penolakan Jokarmo itu pun, lambat laun menyebar juga ke
seluruh kampung. Orang-orang mulai membicarakannya. Di jalan-jalan, di sawah,
di penggilingan padi, hingga di pasar.
Lalu,
datanglah tawaran berikutnya.
“Dia
masih perawan,” bisik Samuji sambil mengedipkan mata sebelah.
Jokarmo
melotot. “Kamu menghinaku?” Suara Jokarmo meninggi.
Samuji
mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. “Jangan marah dulu.”
Raut
Jokarmo berubah masam.
“Anaknya
penjual kupat tahu di dekat pasar.”
Jokarmo
ingat, jika ke pasar, istrinya sering membeli kupat tahu.
“Orangnya
ramah dan tersenyum pada siapa saja.” Samuji masih bersemangat cerita. “Tapi
ya, memang dia tak banyak bicara.” Suara Samuji rendah.
Jokarmo
kembali ingat, bahwa istrinya pernah cerita, anak penjual kupat tahu
langganannya itu, memang tak bisa bicara sedari kecil.
“Tapi
cantik. Rajin. Tanggap kerjaan rumah, dan
yang pasti pintar masak. Kamu tidak akan kelaparan atau susah-susah
masak lagi, bahkan—“
“Aku
tidak mencari tukang masak.” Jokarmo berdiri. Pergi,
meninggalkan Samuji yang terbengong-bengong sendirian.
Jokarmo melangkah panjang-panjang menuju ladang.
Tanpa bicara apapun, dia mencangkul sekuat tenaga. Menggemburkan
bongkahan-bongkahan tanah hingga matahari tak terlihat lagi.
Dan
seperti hari-hari kemarin sejak istrinya pergi, Jokarmo akan bangun pagi-pagi.
Dia tahu, tak ada lagi aroma kopi di meja kayu dekat dapur mereka. Tujuh hari
pertama, adik perempuannya masih menginap di rumahnya. Memasak, membereskan
pekerjaan rumah serta membuatkan kopi.
“Satu
sendok kopi, satu sendok gula, untuk cangkirmu.” Jokarmo diajari membuat kopi
sendiri. “Tidak sulit kan?”
Tapi,
Jokarmo tak pernah sekali pun menyeduh kopi sendiri. Bahkan, sepanjang hidupnya, lelaki itu hampir tak
pernah bersentuhan dengan peralatan dapur. Istrinya selalu memperlakukannya
seperti raja. Semua makanan siap santap, tersedia di meja.
“Ini
mudah. Beras tinggal dimasukkan, kasih air. Colokkan kabel, dan pencet.” Adik
perempuannya mengajari menanak nasi. “Kalau nggoreng telur, caranya—“
“Aku
bisa beli!” Tentu saja, Jokarmo tidak mau menghabiskan seharian hanya belajar
masak. Namun, adik perempuannya itu, memilih mengalah. Setiap pagi, dia
menempuh sembilan kilo meter, mengantar makanan untuk Jokarmo.
***
“Kamu
ingin menikah lagi?” tanya adik Jokarmo suatu pagi saat mengantar makanan.
“Setelah
seratus hari.”
“Orang-orang
membicarakanmu, Kang.”
“Mereka
tidak tahu apa-apa.”
“Bagaimana
kalau kamu tinggal di rumah kami? Kamu bisa berangkat ke ladang dari sana
setiap pagi. Tidak terlalu jauh kan dengan motor?”
“Kalau
kamu capek ke sini, aku bisa beli makan sendiri.”
“Ya
Allah, Kang. Maksudku bukan begitu.”
Adiknya menatap dengan raut muram. “Di sana kan kita bisa rame-rame.”
“Aku
tidak kesepian,” sahut Jokarmo. Kemudian lelaki itu berdiri, mengambil cangkul
dan pergi begitu saja.
Baru
sampai di ladang, Samuji berlari-lari menyusulnya.
“Kali
ini sesuai keinginanmu.”
Jokarmo
menatap Samuji, penuh harap.
“Janda
tua. Miskin. Tidak punya siapa-siapa. Maksudku anak-anaknya sudah tinggal
bersama keluarganya masing-masing.
“Siapa?”
“Mbah
Sibun. Desa sebelah. Aku memang belum menanyainya. Apa dia mau apa tidak. Aku
tanya kamu dulu. Takutnya kamu menolak lagi. Tapi aku yakin. Kali ini, kamu
pasti menerima.” Seperti biasa, Samuji selalu semangat.
Jokarmo
mengingat-ngingat, apakah dia pernah bertemu dengan Sibun?
“Kasihan
dia. Pasti butuh teman hidup. Sudah lama sakit-sakitan.” Samuji menambah
keterangannya.
Jokarmo
menatap tajam pada Samuji.
“Cocok?
Mau?” tanya Samuji sambil mengedipkan mata.
“Aku
nyari istri, bukan mau merawat orang sakit!”
Dan
seperti biasa. Jokarmo meninggalkan Samuji tanpa berkata-kata lagi.
“Duh
Gusti. Embuh Jo. Embuh!” Teriak Samuji. “Aku tidak tahu lagi yang bagaimana yang
kamu cari.”
Teriakan
itu menyulut emosi Jokarmo. Dia berharap Samuji tahu, wanita bagaimana yang dia
cari. Tentu saja bukan janda muda. Bukan pula gadis yang pintar masak itu.
Berkali-kali Jokarmo merutuk dalam hati, kalau seharusnya Samuji mengerti.
Sekarang, temannya itu malah menawarkan nenek tua sakit-sakitan? Kali ini,
Jokarmo benar-benar emosi.
Dia
mencangkul seperti orang yang kerasukan. Keringat membasahi bajunya. Menetes-netes dari ujung rambutnya yang
lepek. Wajahnya, lengannya, yang kecoklatan,
berkilauan oleh cahaya matahari.
Begitulah,
hingga seratus hari setelah kepergiannya istrinya. Jokarmo belum mendapatkan
wanita yang cocok untuk dinikahi.
***
“Kamu
tadi tidak ke makam?” Malam itu, ba’da
mengirim doa selamatan, setelah orang-orang pulang, adik Jokarmo
bertanya pelan.
“Orang-orang
membicarakanmu.”
Bibir
Jokarmo terkatup rapat.
“Katanya
kamu tidak terlihat ke makam. Ada yang bilang, bahkan karena kamu sibuk mencari
istri sampai-sampai lupa, kalau kamu seharusnya berziarah.”
Air
muka Jokarmo berubah keruh.
“Padahal
aku sudah mengingatkanmu sejak pagi. Aku juga sudah membelikan bunga.”
“Besok.”
Sahutan itu serak dan dalam, mengakhiri percakapan malam mereka.
***
Paginya, dengan mengayuh sepeda
unta, Jokarmo pergi ke pasar. Dia menghentikan kayuhannya di depan penjual
bunga.
“Bunga, Pak?”
“Satu bungkus.”
Wanita itu mengambil selembar daun
pisang. Dan dengan cekatan, meracik beberapa bunga, menyematnya dengan lidi dan
menyerahkan pada Jokarmo.
Hari itu, untuk pertama kalinya,
sejak kepergian istrinya, Jokarmo pergi ke makam. Lelaki tua itu, duduk lama di
depan pusara istrinya. Dia menabur sebungkus bunga dan pergi dari sana.
Kesokan harinya. Besoknya. Besoknya.
Besoknya. Dan besoknya lagi, Jokarmo melakukan hal yang sama. Pagi-pagi, lelaki
itu akan mengayuh sepeda untanya. Berhenti di depan wanita penjual bunga
langganannya. Membeli sebungkus dan menaburkan di makam istrinya.
Kini, seratus lima puluh sembilan
hari, setelah kepergiannya istrinya, dia tak pernah sekalipun melewatkan pagi
tanpa menaburkan bunga di makam istrinya. Dan, seperti biasanya, orang-orang
kampung mulai membicarakannya.
Mereka bahkan menduga-duga. Apakah
Jokarmo memang masih bersungkawa perihal kepergian istrinya? Ataukah lelaki itu
jatuh hati pada penjual bunga langganannya? Jokarmo bukan tak mendengar
gunjingan itu.Tapi dia tidak merasa terganggu. Baginya, bagi lelaki itu, hidup bukan tentang orang lain, tetapi tentang dirinya.
“Mereka tidak tahu apa-apa,” bisik
Jokarmo lirih, sambil menabur bunga di atas pusara istrinya. "Percayalah padaku, Jah."[]
*Cerpen ini menjadi terbaik empat di gelaran Bulan Bahasa UGM tahun 2017
*Dimuat dalam buku antologi kumpulan cerpen Pemenang Cipta Cerpen Bulan Bahasa
*Gambar by Canfa
cerpen mba shabrina selalu manis dan sampai ke hati :)
BalasHapusAlhamdulillah. Makasiiih
HapusMbak... nangis aku bacanya. Bagus banget...
BalasHapusAlhamdulillah. Makasih Mbak sudah baca 😊
HapusMantap, Mbak. Kereen.
BalasHapusAlhamdulillah. Makasiih sudah bacaa 😊
HapusKereeen
BalasHapusAlhamdulillah. Makasih Mbak 😊
HapusSuka mbak...
BalasHapusCerpennya hidup..
BalasHapusmantaaap jiwa, mbak, cerpen cerpen e sampean yang sudah muat di media ataupun yang menang perlombaan gk da niat buat jadikan mereka satu kumpulan kah
BalasHapus