Minggu, 24 November 2019

Bayam



Saya hendak menjemur ketika dari jendela atap menangkap matahari seperti kuning telur raksasa di balik ranting-ranting tanpa daun.

Saya tak hendak memotret. Kadang beberapa hal cukup kita simpan dalam ingatan. Saya lihat saja matahari yang mengambang tenang itu sambil menghirup udara dalam-dalam.

Karena harus ke pasar, jadi saya tidak bisa berlama-lama. Perjalan ke pasar memang ke arah timur, tetapi saya tidak  yakin penampakan matahari masih seperti itu. Dan benar saja, sinarnya sudah pecah.

Saya memarkir motor, menyapa penjual ayam, menjawab ucapan selamat pagi dari penjual beras, mengangguk pada penjual donat, dan tersenyum pada seorang ibu yang sepertinya tergesa-gesa dan kami hampir tabrakan.

Minggu selalu ramai. Antri dimana-mana. Saya menuju ke bagian ikan dan menaruh wadah. Penjualnya sudah hafal saya beli berapa, isi berapa dan dibersihkan bagaimana.

Lalu saya menuju deretan sayuran.
"Pira bayeme iki?" Seorang ibu menanyakan harga bayam.

"Sewu mangatus," seribu lima ratus, jawab bapak  penjual.

"Sewu ya?"

"Sewu mangatus."

"Halah mik bayem ae sewu ora oleh." Hanya bayam saja kenapa seribu ngga boleh, kata ibu itu.

"Panase kaya ngene angel banyu," kata penjual ini musim kemarau dan sulit air.

"Cantik-cantik, Bu, bayamnya," saya menyahut dengan bahasa Jawa, sambil menyisihkan dua ikat.

"Halah, masio ayu rasane ya ming bayem. Moh, ra mangan bayem. Bayem ae sewu kok ora oleh."

"Lha, ya nek rasane duren ya takdol seket ewu." Penjual itu terkekeh, sambil mengatakan, kalau bayamnya rasa durian akan dia jual lima puluh ribu.

Saya ikut tertawa, ibu itu berlalu begitu saja. Sementara saya kembali ke bagian ikan setelah membayar  bayam.

Antrian masih panjang, jadi saya duduk berjuntai kaki di tepi sungai, tepat di belakang penjual ikan sambil mengetik tulisan ini.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...