Bekantan di Bonbin SBY
Hari masih pagi
ketika aku melihatnya duduk termenung di atas batu. Hem... sepertinya dia
asing. Pasti dia penghuni baru di tempat ini. Dengan agak ragu aku mendekat. Mula-mula
aku berjalan dari arah belakangnya, tapi karena aku tidak mau membuatnya
terkejut, aku mendekati dari arah samping.
Ketika aku sudah berdiri dua lengan
di samping kanannya, dia masih menunduk. Sepertinya dia tidak mendengar —atau
mungkin tidak menghiraukan— kehadiranku.
“Hai…” akhirnya aku menyapanya
karena setelah beberapa saat dia tidak bereaksi. Aku memasang senyum termanisku
saat dia mengangkat kepalanya dan
menoleh ke arahku.
“Pagi-pagi kok melamun di sini?”
tanyaku basa-basi. Dia mengangguk dan sedikit tersenyum. Ah, hanya sedikit tapi
membuat jantungku berdetak lebih cepat.
“Sepertinya kita belum pernah ketemu
ya? Kau baru di sini?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi dia hanya mengangguk. Wah,
tidak seperti yang lain, pikirku. Biasanya setiap yang aku sapa selalu
menyambutku dengan antusias apalagi kalau sudah kupasang senyum mautku. Tapi
dia beda. Dia cenderung dingin, atau mungkin lebih tepatnya cuek.
“Oh ya, namaku Macaca Fascicularis,
tapi kau cukup memanggilku Max saja.”
“Nasalis Larvatus,” ucapnya serak.
“Nama yang indah,” ah ini tentu saja kuucapkan dengan jujur.
Dan
lagi-lagi dia hanya tersenyum. Lalu menunduk lagi. Beberapa saat kami hanya
merenda sunyi.
“Oh ya, sudah waktunya sarapan, yuk!
Di sini semuanya harus serba cepat, kalau lelet nanti tidak kebagian.” Aku
memecah sepi.
“Terima kasih, tapi aku tidak
lapar.”
“Hei… kenapa? Kau harus makan,
karena makanan baru akan datang lagi nanti sore. Jika kau tidak makan, kau bisa
kelaparan. Kecuali ada pengunjung yang berbaik hati memberi kita makan.”
Dan begitulah, pertemuan pagi itu
merupakan awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Entah bagaimana awalnya
kami merasa sangat akrab. Seperti teman lama yang bertemu kembali. Meskipun
Sasa, begitu aku memanggilnya, sedikit lebih tertutup. Tapi menurutku dia tetap teman yang menyenangkan.
Sudah menjadi kebiasaanku selalu
ingin kenal dengan penghuni baru. Aku senang sekali mendengar cerita-cerita
mereka tentang keadaan di luar sana. Karena aku lahir dan besar di tempat ini. Tapi bersama Sasa lebih sering aku yang bercerita.
Bercerita apa saja. Dan dia adalah pendengar yang baik.
Hingga
suatu sore aku menemukannya menangis sendirian
di batang pohon rambai.
“Sa?” aku menyapanya pelan.
“Kenapa kau menangis?” tanyaku
hati-hati. Sasa mengusap air matanya. Hidungnya yang mancung kelihatan memerah.
Jari-jarinya mempermainkan sesuatu.
“Apa itu, Sa?”
“Ini cincin dari akar rambai, yang
diberikan ibuku siang itu, saat kami mencari makan. Aku tidak menyangka kalau
itu adalah kebersamaan kami yang terakhir.” Airmata Sasa menderas seperti hujan.
“Kau tidak pernah cerita padaku
sebelumnya.”
“Itu agar aku tidak sedih. Tapi
memendam cerita sendirian ternyata membuatku semakin tersiksa.”
“Sebenarnya di mana tempat tinggalmu
dulu?”
Sasa
menarik nafas panjang, lalu pandangannya menerawang jauh, dan dengan gemetar
dia memulai ceritanya.
“Aku lahir di Pulau Kaget. Ibuku
sering bercerita tentang nenek moyang kami yang sudah menempati daerah itu
selama puluhan tahun dengan makanan yang melimpah, daun-duan rambai yang segar
juga tumbuhan api-api yang nikmat.” Sasa menarik nafas panjang, menghembuskan pelan, kemudian melanjutkan
ceritanya.
“Tapi akhir-akhir ini, kami semakin
kesulitan mencari makan. Tak jarang kami berebut wilayah hingga berdampak pada
pertengkaran kelompok.”
“Kenapa, Sa?”
“Hhh…” Sasa mendesah, matanya
kembali berkaca-kaca.
“Apa yang terjadi?”
“Kau tahu, sebagian besar wilayah
kami telah dikuasai manusia. Pohon-pohon rambai di tebang. Lalu diganti dengan
tanaman-tanaman yang tidak bisa kami makan. Padahal kau tahu kan, kami, para
bekantan, sangat sulit dipisahkan dengan pohon rambai. Itu sudah menjadi
makanan utama kami. Bahkan kami menjadikan pohon rambai sebagai rumah yang
nyaman untuk istirahat.”
“Kenapa aku sering sekali mendengar
cerita seperti ini?”
“Cerita yang sama?”
“Lebih tepatnya, cerita tentang
wilayah-wilayah binatang yang dikuasai manusia. Aku… aku sangat tidak mengerti
kenapa semua terjadi? Kau tahu kan, aku lahir dan besar di sini. Tapi sejauh mana
pun ketidaktahuanku, aku seperti merasakan kesedihan setiap kali mendengar
cerita seperti ini.”
“Yah, bukan hanya menyedihkan Max,
tapi juga sangat menyakitkan.Lebih menyakitkan lagi, ketika semakin banyak
manusia datang ke wilayah kami yang semakin sempit, mengambil akar-akar rambai
untuk dijadikan tutup botol. Dan itu membuat kami semakin tidak nyaman.”
“Oh ya?”
“Ya, kata kepala suku kami, jika ini
terus menerus terjadi, bisa-bisa kami hanya tinggal cerita….”
“Aku tidak mengerti maksudmu, Sa.”
“Ya, tinggal cerita, punah,”
ucap Sasa lirih.
“P-punnah?! Mengerikan sekali…”
“Apa kau pikir kami bisa terus hidup
tanpa makan, Max? Sementara sumber makanan kami semakin menipis? Kami harus
berebut, bertengkar, berkelahi…. Ibuku selalu termangu-mangu dan menyayangkan
bahwa tempat tinggal kami tidak sedamai dulu lagi.”
Aku mendengar cerita Sasa dengan
jantung yang berdegup kencang. Tanpa sadar tanganku telah mengepal erat.
“Tidak hanya itu, Max. Tempat
tinggal kami juga rusak akibat sering
dilewati tongkang batu bara. Hingga suatu hari, kami mengadakan rapat, membahas
tentang kehidupan kami. Kepala suku bertanya pada kami, satu persatu. Apakah
ada di antara kami yang mengganggu manusia? Apakah ada di antara kami yang
membuat manusia susah, sehingga manusia berlaku seperti itu kepada kami? Tapi
kau tahu? Meski disumpah sekalipun kami tidak ada yang mengaku. Karena kami
memang tidak pernah melakukan hal-hal yang mengganggu manusia.”
“Ini menyedihkan, Sa….”
“Jadi semua pertanyaan itu tidak
pernah kami temukan jawabannya. Pertanyaan kenapa manusia merebut lahan kami? Sungguh,
mungkin hanya manusia yang tahu. Karena kami tak pernah bisa menjangkau pikiran
mereka.”
“Hingga akhirnya kau pindah ke
sini?”
“Ya, dan bagiku ini awal bencana.”
“Ben-ca-na?”
“Apa menurutmu bukan bencana, jika
kau dipisahkan begitu saja dari keluargamu? Dari ibumu, dari saudara-saudaramu…
kau tidak akan pernah melihat wajahnya lagi, kau tidak akan pernah mencium
aromanya lagi… dan kau tidak akan pernah bisa menyentuhnya lagi….”
”Aku
tidak bisa membayangkan rasanya, Sa. Tapi aku lihat ada beberapa Bekantan di
sini. Kukira itu saudaramu.”
“Bukan,
kami dari ayah ibu yang berbeda.” Sasa menarik nafas panjang, lalu menyambung
kalimatnya, “Jadi… siang itu, beberapa manusia mendatangi tempat kami. Aku
sedang main sembunyi-sembunyian dengan adikku. Kemudian tiba-tiba aku sudah
tidak bisa kemana-mana lagi, hingga aku sadar, aku masuk perangkap. Lalu
kudengar manusia-manusia itu bicara. Aku meronta dan ingin melepaskan diri,
namun aku tak bisa. Hingga aku dimasukkan mobil, dan beberapa temanku ada di
sana. Namun tidak ada ibuku, tidak ada adikku, juga tidak ada kakakku. Hingga
setelah lama kami berada dalam kurungan sampailah kami di sini, dan aku sadar
aku telah jauh dari tanahku. Pulau Kaget.”
Sasa
kembali mengusap pipinya. Hidung mancungnya semakin merah. Aku
memang tidak tahu seberapa besar kesedihannya. Tapi aku bisa membayangkan,
pasti sesuatu yang sangat sulit kita terima jika kita dipisahkan dari keluarga.
Tanpa kata pamit.
“Aku
sempat bepikir untuk pulang ke tanahku, Max. Tapi aku sadar aku tak pernah tahu
jalan pulang. Aku berharap, kelak manusia itu mengatarkanku kembali pada
keluargaku.”
“Sasa,
kau harus tahu. Bahwa binatang-binatang yang datang ke sini, maka mereka akan jarang
pergi lagi.”
“Kau
serius?” Sasa menatapku tajam. Aku mengangguk.
“Ini
kebun binatang, Sa. Banyak binatang dari berbagai tempat didatangkan ke sini.
Lalu manusia-manusia akan berdatangan melihat kita. Ini sudah menjadi lakon
kita, Sa. Dan mau tidak mau kita harus terima.”
“Tapi
aku melihat satu perbedaan dari manusia yang pernah aku temui.”
“Perbedaan
apa, Sa?”
“Manusia-manusia
di sini, tidak pernah mengambil akar-akar rambai, juga… aku kira tidak ada
tanda-tanda ingin menangkap kita.”
“Tentu
saja tidak, Sa. Ini kebun binatang. Kata ibuku, setiap yang ke sini harus
mematuhi peraturannya. Manusia-manusia hanya boleh melihat kita, tanpa
mengganggu. Ya… aku rasa soal keamanan, kita sangat aman di sini. Tapi… kalau
soal kebebasan, kita tidak akan pernah mendapatkannya.”
“Kadang
aku melihat mereka mengarahkan benda-benda ke arah kita, aku kira itu senjata
untuk menyakiti atau akan menembak kita….”
“Oh,
bukan, Sa. Itu kamera, mereka mengambil gambar-gambar kita. Kau tahu kenapa?
Karena kita sangat manis.” Sasa tersenyum, dan aku juga tersenyum.
“Aku
suka melihatmu tersenyum, Sa.”
“Tapi
aku tetap sedih, Max….”
“Ya,
aku mengerti, Sa. Perpisahan dan kehilangan tetaplah menimbulkan kesedihan.
Tapi meskipun kau menangis setiap hari, manusia-manusia itu tidak akan pernah
mengerti. Mereka tidak akan pernah mengantarmu pulang ke tanahmu. Jadi, yang
bisa kau lakukan saat ini adalah menerima kenyataan, bahwa kau telah menjadi
bekantan penghuni kebun binatang ini.”
“Susah
sekali, Max….”
“Ya,
memang tidak mudah. Tapi kita tak pernah punya pilihan, Sa.”
“Ah,
andai saja manusia-manusia itu mengerti bahasa kita….”
“Mereka
bukan Nabi Sulaiman, Sa. Tapi kita masih punya satu hal.”
“Apa?”
“Doa.”
“Meminta
pada Tuhan?”
“Ya,
meminta pada Tuhan. Memintalah pada-Nya agar hatimu tenang dan tidak sedih
lagi.”
“Aku
akan meminta pada Tuhan, semoga keluargaku di Pulau Kaget tidak akan pernah
punah.”
“Itu
doa yang indah, Sa,” ucapku lalu tersenyum.
“Ada
bekantan mati!”
Tiba-tiba
suara manusia mengagetkan kami. Bersamaan dengan itu mereka menyebut-nyebut
kata bekantan.
“Bukankah
bekantan ini yang baru saja kita datangkan dari pulau Kaget, Kalimantan
Selatan?”
“Iya,
nampaknya dia stress. Mungkin tempat baru membuatnya tidak nyaman, sehingga
mempengaruhi pola makannya.”
“Tapi
mungkin dia mengidap sakit tertentu?”
“Kita
bawa saja, biar nanti dokter memastikan penyebabnya.”
Dan
orang-orang itu pergi membawa bekantan yang sudah tidak bergerak.
“Dia
temanku, Max! Dan dia mati! Kau bilang di sini aman dan semua baik-baik saja
Max, tapi kenapa temanku mati?!” Sasa menatapku dengan airmata berlinang.
Aku
hanya diam. Karena aku pun tak pernah mengerti jawabannya. Bahkan sebenarnya
pun aku juga bertanya-tanya kenapa
akhir-akhir ini banyak sekali binatang-binatang di kebun binatang ini
yang mati?
Sepanjang
sore itu, aku menamainya kesedihan.Dan sepanjang sore itu berkali-kali Sasa
mengusap pipinya yang basah.
***
Gadingkirana, 031-1917121210, kutulis setelah melihat berita tentang mereka yang tersia-sia :(Cerpen ini masuk dalam buku kumcer 3 Sahabat (Amerul Rizki, Riawani Elyta, Shabrina Ws)
selalu senang dengan cara mbak brina bercerita tentang hewan. lumayan malam-malam baca cerpen apik :D . btw jadi inget cerita orang hutan terbakar :(
BalasHapusMakasih Mbak, dah baca...miris klo ke bonbin melihat mereka Mbak :(
HapusCerpen yang manis sekali. Menggambarkan ketamakan manusia. Manusia yg diberi akal oleh Allah, namun justru keblinger dlm memakainya hingga mengikis nurani.
BalasHapusBagus mbak, pesan moralnya sampai.
Makasih Mbak, udah mampir dan baca.
HapusYaah...mungkin kadang manusia merasa "milikku" bukan "titipan untuk kita"...
mbak, jadi penasaran, dirimu lebih menyukai hewan yang mana ? sepertinya lebih banyak yang jenis orang hutan ya ?
BalasHapuscerpennya oke bangettt
Hahaha...pertanyaan yg bikin tertawa...suka semua Mbak, cuma ini kok ya pas Bekantan dan fotonya ada. Sy lumayan banyak foto bekantannya, cukup lama melihat tingkah polah mereka....:D
Hapusiya mbak ya, sekarang banyak binatang di bonbin yang mati. kemaren, di bonbin surabaya, macan putih mati. kasihan..
BalasHapusJauh banget keadaannya jika dibandingkan dg th 2008 pas sy ke sana...suasananya juga jd gersang gitu...:(
Hapusmrembes bun.
BalasHapus:(
Hapus