Rabu, 12 September 2012

Ini Lakon Kita, Sa



 Bekantan di Bonbin SBY
Hari masih pagi ketika aku melihatnya duduk termenung di atas batu. Hem... sepertinya dia asing. Pasti dia penghuni baru di tempat ini. Dengan agak ragu aku mendekat. Mula-mula aku berjalan dari arah belakangnya, tapi karena aku tidak mau membuatnya terkejut, aku mendekati dari arah samping.
            Ketika aku sudah berdiri dua lengan di samping kanannya, dia masih menunduk. Sepertinya dia tidak mendengar —atau mungkin tidak menghiraukan— kehadiranku.
            “Hai…” akhirnya aku menyapanya karena setelah beberapa saat dia tidak bereaksi. Aku memasang senyum termanisku saat dia mengangkat  kepalanya dan menoleh ke arahku.
            “Pagi-pagi kok melamun di sini?” tanyaku basa-basi. Dia mengangguk dan sedikit tersenyum. Ah, hanya sedikit tapi membuat jantungku berdetak lebih cepat.
            “Sepertinya kita belum pernah ketemu ya? Kau baru di sini?” tanyaku lagi. Dan lagi-lagi dia hanya mengangguk. Wah, tidak seperti yang lain, pikirku. Biasanya setiap yang aku sapa selalu menyambutku dengan antusias apalagi kalau sudah kupasang senyum mautku. Tapi dia beda. Dia cenderung dingin, atau mungkin lebih tepatnya cuek.
            “Oh ya, namaku Macaca Fascicularis, tapi kau cukup memanggilku Max saja.”
            “Nasalis Larvatus,” ucapnya serak.
            “Nama yang indah,” ah ini tentu saja kuucapkan dengan jujur.
Dan lagi-lagi dia hanya tersenyum. Lalu menunduk lagi. Beberapa saat kami hanya merenda sunyi.

            “Oh ya, sudah waktunya sarapan, yuk! Di sini semuanya harus serba cepat, kalau lelet nanti tidak kebagian.” Aku memecah sepi.
            “Terima kasih, tapi aku tidak lapar.”
            “Hei… kenapa? Kau harus makan, karena makanan baru akan datang lagi nanti sore. Jika kau tidak makan, kau bisa kelaparan. Kecuali ada pengunjung yang berbaik hati memberi kita makan.”
            Dan begitulah, pertemuan pagi itu merupakan awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Entah bagaimana awalnya kami merasa sangat akrab. Seperti teman lama yang bertemu kembali. Meskipun Sasa, begitu aku memanggilnya, sedikit lebih tertutup. Tapi menurutku dia tetap teman yang menyenangkan.
            Sudah menjadi kebiasaanku selalu ingin kenal dengan penghuni baru. Aku senang sekali mendengar cerita-cerita mereka tentang keadaan di luar sana. Karena aku lahir dan besar di tempat ini. Tapi  bersama Sasa lebih sering aku yang bercerita. Bercerita apa saja. Dan dia adalah pendengar yang baik.
Hingga suatu sore aku menemukannya menangis sendirian  di batang pohon rambai.
            “Sa?” aku menyapanya pelan.
            “Kenapa kau menangis?” tanyaku hati-hati. Sasa mengusap air matanya. Hidungnya yang mancung kelihatan memerah. Jari-jarinya mempermainkan sesuatu.
            “Apa itu, Sa?”
            “Ini cincin dari akar rambai, yang diberikan ibuku siang itu, saat kami mencari makan. Aku tidak menyangka kalau itu adalah kebersamaan kami yang terakhir.” Airmata Sasa menderas seperti hujan.
            “Kau tidak pernah cerita padaku sebelumnya.”
            “Itu agar aku tidak sedih. Tapi memendam cerita sendirian ternyata membuatku semakin tersiksa.”
            “Sebenarnya di mana tempat tinggalmu dulu?”
Sasa menarik nafas panjang, lalu pandangannya menerawang jauh, dan dengan gemetar dia memulai ceritanya.
            “Aku lahir di Pulau Kaget. Ibuku sering bercerita tentang nenek moyang kami yang sudah menempati daerah itu selama puluhan tahun dengan makanan yang melimpah, daun-duan rambai yang segar juga tumbuhan api-api yang nikmat.” Sasa menarik nafas panjang,  menghembuskan pelan, kemudian melanjutkan ceritanya.
            “Tapi akhir-akhir ini, kami semakin kesulitan mencari makan. Tak jarang kami berebut wilayah hingga berdampak pada pertengkaran kelompok.”
            “Kenapa, Sa?”
            “Hhh…” Sasa mendesah, matanya kembali berkaca-kaca.
            “Apa yang terjadi?”
            “Kau tahu, sebagian besar wilayah kami telah dikuasai manusia. Pohon-pohon rambai di tebang. Lalu diganti dengan tanaman-tanaman yang tidak bisa kami makan. Padahal kau tahu kan, kami, para bekantan, sangat sulit dipisahkan dengan pohon rambai. Itu sudah menjadi makanan utama kami. Bahkan kami menjadikan pohon rambai sebagai rumah yang nyaman untuk istirahat.”
            “Kenapa aku sering sekali mendengar cerita seperti ini?”
            “Cerita yang sama?”
            “Lebih tepatnya, cerita tentang wilayah-wilayah binatang yang dikuasai manusia. Aku… aku sangat tidak mengerti kenapa semua terjadi? Kau tahu kan, aku lahir dan besar di sini. Tapi sejauh mana pun ketidaktahuanku, aku seperti merasakan kesedihan setiap kali mendengar cerita seperti ini.”
            “Yah, bukan hanya menyedihkan Max, tapi juga sangat menyakitkan.Lebih menyakitkan lagi, ketika semakin banyak manusia datang ke wilayah kami yang semakin sempit, mengambil akar-akar rambai untuk dijadikan tutup botol. Dan itu membuat kami semakin tidak nyaman.”
            “Oh ya?”
            “Ya, kata kepala suku kami, jika ini terus menerus terjadi, bisa-bisa kami hanya tinggal cerita….”
            “Aku tidak mengerti maksudmu, Sa.”
            “Ya, tinggal cerita, punah,” ucap Sasa lirih.
            “P-punnah?! Mengerikan sekali…”
            “Apa kau pikir kami bisa terus hidup tanpa makan, Max? Sementara sumber makanan kami semakin menipis? Kami harus berebut, bertengkar, berkelahi…. Ibuku selalu termangu-mangu dan menyayangkan bahwa tempat tinggal kami tidak sedamai dulu lagi.”
            Aku mendengar cerita Sasa dengan jantung yang berdegup kencang. Tanpa sadar tanganku telah mengepal erat.
            “Tidak hanya itu, Max. Tempat tinggal  kami juga rusak akibat sering dilewati tongkang batu bara. Hingga suatu hari, kami mengadakan rapat, membahas tentang kehidupan kami. Kepala suku bertanya pada kami, satu persatu. Apakah ada di antara kami yang mengganggu manusia? Apakah ada di antara kami yang membuat manusia susah, sehingga manusia berlaku seperti itu kepada kami? Tapi kau tahu? Meski disumpah sekalipun kami tidak ada yang mengaku. Karena kami memang tidak pernah melakukan hal-hal yang mengganggu manusia.”
            “Ini menyedihkan, Sa….”
            “Jadi semua pertanyaan itu tidak pernah kami temukan jawabannya. Pertanyaan kenapa manusia merebut lahan kami? Sungguh, mungkin hanya manusia yang tahu. Karena kami tak pernah bisa menjangkau pikiran mereka.”
            “Hingga akhirnya kau pindah ke sini?”
            “Ya, dan bagiku ini awal bencana.”
            “Ben-ca-na?”
            “Apa menurutmu bukan bencana, jika kau dipisahkan begitu saja dari keluargamu? Dari ibumu, dari saudara-saudaramu… kau tidak akan pernah melihat wajahnya lagi, kau tidak akan pernah mencium aromanya lagi… dan kau tidak akan pernah bisa menyentuhnya lagi….”
”Aku tidak bisa membayangkan rasanya, Sa. Tapi aku lihat ada beberapa Bekantan di sini. Kukira itu saudaramu.”
“Bukan, kami dari ayah ibu yang berbeda.” Sasa menarik nafas panjang, lalu menyambung kalimatnya, “Jadi… siang itu, beberapa manusia mendatangi tempat kami. Aku sedang main sembunyi-sembunyian dengan adikku. Kemudian tiba-tiba aku sudah tidak bisa kemana-mana lagi, hingga aku sadar, aku masuk perangkap. Lalu kudengar manusia-manusia itu bicara. Aku meronta dan ingin melepaskan diri, namun aku tak bisa. Hingga aku dimasukkan mobil, dan beberapa temanku ada di sana. Namun tidak ada ibuku, tidak ada adikku, juga tidak ada kakakku. Hingga setelah lama kami berada dalam kurungan sampailah kami di sini, dan aku sadar aku telah jauh dari tanahku. Pulau Kaget.”
Sasa kembali mengusap pipinya. Hidung mancungnya semakin merah. Aku memang tidak tahu seberapa besar kesedihannya. Tapi aku bisa membayangkan, pasti sesuatu yang sangat sulit kita terima jika kita dipisahkan dari keluarga. Tanpa kata pamit.
“Aku sempat bepikir untuk pulang ke tanahku, Max. Tapi aku sadar aku tak pernah tahu jalan pulang. Aku berharap, kelak manusia itu mengatarkanku kembali pada keluargaku.”
“Sasa, kau harus tahu. Bahwa binatang-binatang yang datang ke sini, maka mereka akan jarang pergi lagi.”
“Kau serius?” Sasa menatapku tajam. Aku mengangguk.
“Ini kebun binatang, Sa. Banyak binatang dari berbagai tempat didatangkan ke sini. Lalu manusia-manusia akan berdatangan melihat kita. Ini sudah menjadi lakon kita, Sa. Dan mau tidak mau kita harus terima.”
“Tapi aku melihat satu perbedaan dari manusia yang pernah aku temui.”
“Perbedaan apa, Sa?”
“Manusia-manusia di sini, tidak pernah mengambil akar-akar rambai, juga… aku kira tidak ada tanda-tanda ingin menangkap kita.”
“Tentu saja tidak, Sa. Ini kebun binatang. Kata ibuku, setiap yang ke sini harus mematuhi peraturannya. Manusia-manusia hanya boleh melihat kita, tanpa mengganggu. Ya… aku rasa soal keamanan, kita sangat aman di sini. Tapi… kalau soal kebebasan, kita tidak akan pernah mendapatkannya.”
“Kadang aku melihat mereka mengarahkan benda-benda ke arah kita, aku kira itu senjata untuk menyakiti atau akan menembak kita….”
“Oh, bukan, Sa. Itu kamera, mereka mengambil gambar-gambar kita. Kau tahu kenapa? Karena kita sangat manis.” Sasa tersenyum, dan aku juga tersenyum.
“Aku suka melihatmu tersenyum, Sa.”
“Tapi aku tetap sedih, Max….”
“Ya, aku mengerti, Sa. Perpisahan dan kehilangan tetaplah menimbulkan kesedihan. Tapi meskipun kau menangis setiap hari, manusia-manusia itu tidak akan pernah mengerti. Mereka tidak akan pernah mengantarmu pulang ke tanahmu. Jadi, yang bisa kau lakukan saat ini adalah menerima kenyataan, bahwa kau telah menjadi bekantan penghuni kebun binatang ini.”
“Susah sekali, Max….”
“Ya, memang tidak mudah. Tapi kita tak pernah punya pilihan, Sa.”
“Ah, andai saja manusia-manusia itu mengerti bahasa kita….”
“Mereka bukan Nabi Sulaiman, Sa. Tapi kita masih punya satu hal.”
“Apa?”
“Doa.”
“Meminta pada Tuhan?”
“Ya, meminta pada Tuhan. Memintalah pada-Nya agar hatimu tenang dan tidak sedih lagi.”
“Aku akan meminta pada Tuhan, semoga keluargaku di Pulau Kaget tidak akan pernah punah.”
“Itu doa yang indah, Sa,” ucapku lalu tersenyum.
“Ada bekantan mati!”
Tiba-tiba suara manusia mengagetkan kami. Bersamaan dengan itu mereka menyebut-nyebut kata bekantan.
“Bukankah bekantan ini yang baru saja kita datangkan dari pulau Kaget, Kalimantan Selatan?”
“Iya, nampaknya dia stress. Mungkin tempat baru membuatnya tidak nyaman, sehingga mempengaruhi pola makannya.”
“Tapi mungkin dia mengidap sakit tertentu?”
“Kita bawa saja, biar nanti dokter memastikan penyebabnya.”
Dan orang-orang itu pergi membawa bekantan yang sudah tidak bergerak.
“Dia temanku, Max! Dan dia mati! Kau bilang di sini aman dan semua baik-baik saja Max, tapi kenapa temanku mati?!” Sasa menatapku dengan airmata berlinang.
Aku hanya diam. Karena aku pun tak pernah mengerti jawabannya. Bahkan sebenarnya pun aku juga bertanya-tanya kenapa  akhir-akhir ini banyak sekali binatang-binatang di kebun binatang ini yang mati?
Sepanjang sore itu, aku menamainya kesedihan.Dan sepanjang sore itu berkali-kali Sasa mengusap pipinya yang basah.
***
Gadingkirana, 031-1917121210, kutulis setelah melihat berita tentang mereka yang tersia-sia :(
Cerpen ini masuk dalam buku kumcer 3 Sahabat (Amerul Rizki, Riawani Elyta, Shabrina Ws)




10 komentar:

  1. selalu senang dengan cara mbak brina bercerita tentang hewan. lumayan malam-malam baca cerpen apik :D . btw jadi inget cerita orang hutan terbakar :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mbak, dah baca...miris klo ke bonbin melihat mereka Mbak :(

      Hapus
  2. Cerpen yang manis sekali. Menggambarkan ketamakan manusia. Manusia yg diberi akal oleh Allah, namun justru keblinger dlm memakainya hingga mengikis nurani.
    Bagus mbak, pesan moralnya sampai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mbak, udah mampir dan baca.
      Yaah...mungkin kadang manusia merasa "milikku" bukan "titipan untuk kita"...

      Hapus
  3. mbak, jadi penasaran, dirimu lebih menyukai hewan yang mana ? sepertinya lebih banyak yang jenis orang hutan ya ?
    cerpennya oke bangettt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha...pertanyaan yg bikin tertawa...suka semua Mbak, cuma ini kok ya pas Bekantan dan fotonya ada. Sy lumayan banyak foto bekantannya, cukup lama melihat tingkah polah mereka....:D

      Hapus
  4. iya mbak ya, sekarang banyak binatang di bonbin yang mati. kemaren, di bonbin surabaya, macan putih mati. kasihan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jauh banget keadaannya jika dibandingkan dg th 2008 pas sy ke sana...suasananya juga jd gersang gitu...:(

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...