Rumah Betang
Jika kamu bertanya padaku dimana aku menyimpan
kenangan, maka di rumah betanglah tempatnya. Rumah besar dan panjang dengan
tiang-tiang kokoh dari kayu ulin coklat kehitaman. Aku mengenal semua sudut
rumah betang ini seperti aku mengenal diriku sendiri. Dari bilik-biliknya
tempat masing-masing keluarga tinggal, ukiran-ukiran di pintu, tanduk rusa
tempat menaruh senjata, guci-guci, bahkan berapa banyak tiang penyangga rumah
ini.
Tapi, yang paling kusukai adalah karayan, sebuah ruang terbuka yang
menghubung antara rumah betang yang panjang dengan dapur. Biasanya, aku duduk di sana, menebak-nebak
hasil ladang siapa yang belum disimpan dan masih teronggok di dekat pintu? Ikan
lais siapa yang sesekali masih menggelepar tergantung di pagar karayan? Atau,
aroma masakan apa yang menguar dari dapur.
Rumah betang tak pernah sepi. Di musim panen padi, setiap
hari, selalu ada saja bunyi alu dan lisung
bersahutan. Sementara di sami, sebuah ruang luas memanjang, anak-anak berlarian diantara ibu-ibu yang mengayam.
Meski rumah betang ini dihuni oleh banyak keluarga,
namun, aku merasa pagar karayan tempat aku bersandar seperti milikku. Semua
orang tahu, di mana mencariku. Bagiku, menyaksikan mereka dengan gerakannya
masing-masing, semakin membuat rumah betang terasa hidup.
Tapi, ada satu sosok yang namanya diam-diam kuukir
di sini. Seseorang yang dulu selalu membagi makanannya denganku, sekecil apapun
makanan itu. Bahkan jika ada upacara atau perayaan di halaman rumah betang, dan
semua orang melihat berdesakan, dia memilih duduk menemaniku. Dehen. Nama itu, yang telah
membuatku merawat harapan, bahwa suatu saat aku akan mengejarnya.
Tapi itu dulu, belasan tahun yang lalu. Sebelum satu
persatu keluarga meninggalkan rumah ini dengan alasannya sendiri-sendiri. Kini,
rumah betang hanya seperti raksasa yang membisu. Dapur begitu dingin. Lorong sami senyap. Suara alu dan tawa-tawa
itu, hanya seperti dengungan yang
lamat-lamat menghilang.
Lalu aku tersadar, pada kenyataan yang tak pernah
aku pahami sebelumnya, bahwa ternyata aku pun akan pergi meninggalkan rumah betang
ini. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam mimpiku sekalipun.
***
“Kamu berangkat besok?”
Suara itu membangunkan aku dari lamunan. Kuangkat
kepalaku menjauh dari pagar karayan, menoleh pada sosok tinggi kurus yang berjalan mendekat
“Entahlah…” Aku menggeleng.
“Bukannya lusa seleksi dimulai?”
“Aku selalu gagal, Kakak tahu kan?”
“Itu karena kamu kurang sungguh-sungguh!”
“Aku takut mengecewakan kai kalau aku gagal lagi.”
“Apa menurutmu, kai
tidak lebih kecewa melihatmu menyerah sebelum mencoba?”
Aku memainkan kuku-kuku tanganku yang geripis.
Bayangan surat putih dengan kop Pelatda Dayung itu masih tergambar jelas dalam
ingatanku. Surat panggilan untuk kembali mengikuti seleksi masuk pusat
pelatihan daerah. Aku menekankan pada kata kembali,
karena nyatanya ini memang bukan panggilan yang pertama untukku. Ya, setelah seleksi
sebelumnya aku selalu gagal. Jadi kupikir, mungkin aku memang tidak pantas
menjadi atlet dayung. Jangankan untuk mengejar Dehen, yang berkali-kali mengibarkan
bendera merah putih di negeri orang, bahkan untuk lolos tingkat daerah saja aku
tidak bisa. Tempatku adalah di sini. Di rumah betang.
“Aku tak akan pernah ke mana-mana, aku akan tetap di
sini bersama kai.”
Arba melirikku sambil menggeleng. Bersamaan dengan
itu terdengar nada singkat dari ponsel di sakunya. Dia melihat layarnya sejenak. Sebelum berdiri dia berkata, “Kamu tahu,
tak ada yang lebih menakutkan daripada kehilangan keberanian!” Kemudian tanpa
pamit padaku, Arba pergi begitu saja.
Aku membiarkan langkahnya yang panjang-panjang
berdecit di atas lantai kayu, semakin menjauh, menyusuri sami lalu berbelok ke
arah serambi. Tak berapa lama, aku telah melihatnya muncul di belakang rumah
betang. Dan tanpa menoleh ke arahku dia menaiki kelothoknya, diikuti dengan
riak-riak air, yang pecah satu-satu.
baru baca sedikit aku sudah jatuh cinta pada Arba, karena dehen sudah punya kamu :)
BalasHapusselamat mba, semoga membawa kebaikan sesuai harapanmu ..
Daya tarik tulisan mbak Eni Shabrina itu selain bhs yg puitis, hampir selalu ada bahasa daerah yg terselip, menambah kosa kata :)
BalasHapusseperti ada kesedihan yang merayap dalam diriku setelah membaca ini :-) cinta yang tumbuh dalam diam, cinta si aku kepada arba kah?
BalasHapusmaaf out of the topic, btw gambar kopi background menggoda banget mbak
BalasHapusselalu aku pada tulisanmu, Mba.aku mau ah novelnya*kapan jadwal promo di @BAWCommunity
BalasHapusAq pasti teringat tulisan anindita kalo baca tulisan eni, puitis n lokalitasnya kerasa banget :-)
BalasHapusTak sabar membaca novel ini. Pasti penuh penghayatan karena nulisnya lama ya, mbaa...
BalasHapusAku selalu suka tulisanmu mbak. Sejak dari Annida duluuuu ;)
BalasHapusI just can't stop loving your story..
BalasHapusCovernya manis, judulnya eye catching, nama2nya unik. Moga laris manis mbak :)
BalasHapusSudah jatuh cinta dulu dengan judulnya, apalagi ini menceritakan Borneo, tanah kelahiranku :)
BalasHapusmbak Eni "Shabrina WS"... selalu memukau dalam setiap karyanya. Pengen punya beberapa bukumu, mbak...
BalasHapussukses yo mbakyu :) aku belum bisa nyusul :)
BalasHapus1.Mbak Adya, saya juga suka Arba :D
BalasHapus2.Mbak Dwi, makasih Mbak Dwi :)
3.Mbak Ihan, jadi kira-kira siapa ya? hihihi...
4.Spaceblog, punyanya blogspot juga kok :)
5.Mbak Eni, asyik mau dibaca novelis keren nih. makasiih :)
6. Mbak Riawani, saya masih jauh dari Mbak Anindita.
7. Mbak Leyla, tunggu pak Pos ya :)
8.Mbak Fardelyn, makasiih, jadi menceng nih jilbab saya :D
9.Mbak Linda, ooh Mbaaak...jadi deg-degan. :)
10.Mbak Mugniar, aamiin, makasih doanya Mbak :)
11. Mbak Esti, waaah Mbak kelahiran Borneo? saya menyukai kata Borneo :)
12. Mbak Faiza, alhamdulillah, makasih ya Mbak sudah berkenan :)
13. Ao_Shy, haloo gimana? ini yg Rosita dah edit lho :)
jadi penasaran sama bukunya *bookmark dulu :)
BalasHapusMba Shabrina selalu mengangkat lokalitas. Jadi, judul begini yg paling pas, ga ngenglish hehehe... Atlet dayung, rumah bettang.. Bener2 ga biasa.... :)
BalasHapusMembacanya seakan2 saya yg berada di rumah betang itu.
BalasHapussaya suka prolog awalnya,,, tentang betang tentang karayan....
BalasHapusMbak Wuri, monggo Mbak :) Makasih sudha mampir :)
BalasHapusMbak Rima, terima kasih Mbak, sudah baca. Tapi masih jauh dari sempurna nih, masih harus banyak berlatih :)
Mbak Santi, Suwun Mbak, nulisnya juga sambil membayangkan gitu ::D
Mbak Lulu, makasiiih sudah meluangkan waktu :)
Baru baca sedikit saja saya sudah hampir menangis mbak, yang namanya perjuangan memang selalu mengharukan.
BalasHapusTerima kasih sudah baca.
HapusSemoga novel utuhnya suka :)