Rabu, 23 Oktober 2013

Cuplikan novel BETANG: Cinta yang Tumbuh dalam Diam



Rumah Betang

Jika kamu bertanya padaku dimana aku menyimpan kenangan, maka di rumah betanglah tempatnya. Rumah besar dan panjang dengan tiang-tiang kokoh dari kayu ulin coklat kehitaman. Aku mengenal semua sudut rumah betang ini seperti aku mengenal diriku sendiri. Dari bilik-biliknya tempat masing-masing keluarga tinggal, ukiran-ukiran di pintu, tanduk rusa tempat menaruh senjata, guci-guci, bahkan berapa banyak tiang penyangga rumah ini. 

Tapi, yang paling kusukai adalah karayan, sebuah ruang terbuka yang menghubung antara rumah betang yang panjang dengan dapur.  Biasanya, aku duduk di sana, menebak-nebak hasil ladang siapa yang belum disimpan dan masih teronggok di dekat pintu? Ikan lais siapa yang sesekali masih menggelepar tergantung di pagar karayan? Atau, aroma masakan apa yang menguar dari dapur.

Rumah betang tak pernah sepi. Di musim panen padi, setiap hari, selalu ada saja bunyi alu dan lisung  bersahutan.  Sementara di sami, sebuah ruang luas  memanjang, anak-anak berlarian diantara  ibu-ibu yang mengayam. 

Meski rumah betang ini dihuni oleh banyak keluarga, namun, aku merasa pagar karayan tempat aku bersandar seperti milikku. Semua orang tahu, di mana mencariku. Bagiku, menyaksikan mereka dengan gerakannya masing-masing, semakin membuat rumah betang terasa hidup. 

Tapi, ada satu sosok yang namanya diam-diam kuukir di sini. Seseorang yang dulu selalu membagi makanannya denganku, sekecil apapun makanan itu. Bahkan jika ada upacara atau perayaan di halaman rumah betang, dan semua orang melihat berdesakan, dia memilih duduk menemaniku. Dehen. Nama itu, yang telah membuatku merawat harapan, bahwa suatu saat aku akan mengejarnya. 

Tapi itu dulu, belasan tahun yang lalu. Sebelum satu persatu keluarga meninggalkan rumah ini dengan alasannya sendiri-sendiri. Kini, rumah betang hanya seperti raksasa yang membisu. Dapur begitu dingin. Lorong sami senyap. Suara alu dan tawa-tawa itu,  hanya seperti dengungan yang lamat-lamat menghilang.

Lalu aku tersadar, pada kenyataan yang tak pernah aku pahami sebelumnya, bahwa ternyata aku pun akan pergi meninggalkan rumah betang ini. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam mimpiku sekalipun.
***

“Kamu berangkat besok?”  
Suara itu membangunkan aku dari lamunan. Kuangkat kepalaku menjauh dari pagar karayan, menoleh pada sosok  tinggi kurus yang berjalan mendekat
 “Entahlah…” Aku menggeleng.
“Bukannya lusa seleksi dimulai?”
“Aku selalu gagal, Kakak tahu kan?”
“Itu karena kamu kurang sungguh-sungguh!”
“Aku takut mengecewakan kai kalau aku gagal lagi.”
“Apa menurutmu, kai tidak lebih kecewa melihatmu menyerah sebelum mencoba?”
Aku memainkan kuku-kuku tanganku yang geripis. Bayangan surat putih dengan kop Pelatda Dayung itu masih tergambar jelas dalam ingatanku. Surat panggilan untuk kembali mengikuti seleksi masuk pusat pelatihan daerah. Aku menekankan pada kata kembali, karena nyatanya ini memang bukan panggilan yang pertama untukku. Ya, setelah seleksi sebelumnya aku selalu gagal. Jadi kupikir, mungkin aku memang tidak pantas menjadi atlet dayung. Jangankan untuk mengejar Dehen, yang berkali-kali mengibarkan bendera merah putih di negeri orang, bahkan untuk lolos tingkat daerah saja aku tidak bisa. Tempatku adalah di sini. Di rumah betang.
“Aku tak akan pernah ke mana-mana, aku akan tetap di sini bersama kai.”
Arba melirikku sambil menggeleng. Bersamaan dengan itu terdengar nada singkat dari ponsel di sakunya. Dia melihat layarnya sejenak. Sebelum berdiri dia berkata, “Kamu tahu, tak ada yang lebih menakutkan daripada kehilangan keberanian!” Kemudian tanpa pamit padaku, Arba pergi begitu saja.
Aku membiarkan langkahnya yang panjang-panjang berdecit di atas lantai kayu, semakin menjauh, menyusuri sami lalu berbelok ke arah serambi. Tak berapa lama, aku telah melihatnya muncul di belakang rumah betang. Dan tanpa menoleh ke arahku dia menaiki kelothoknya, diikuti dengan riak-riak air, yang pecah satu-satu.


21 komentar:

  1. baru baca sedikit aku sudah jatuh cinta pada Arba, karena dehen sudah punya kamu :)
    selamat mba, semoga membawa kebaikan sesuai harapanmu ..

    BalasHapus
  2. Daya tarik tulisan mbak Eni Shabrina itu selain bhs yg puitis, hampir selalu ada bahasa daerah yg terselip, menambah kosa kata :)

    BalasHapus
  3. seperti ada kesedihan yang merayap dalam diriku setelah membaca ini :-) cinta yang tumbuh dalam diam, cinta si aku kepada arba kah?

    BalasHapus
  4. maaf out of the topic, btw gambar kopi background menggoda banget mbak

    BalasHapus
  5. selalu aku pada tulisanmu, Mba.aku mau ah novelnya*kapan jadwal promo di @BAWCommunity

    BalasHapus
  6. Aq pasti teringat tulisan anindita kalo baca tulisan eni, puitis n lokalitasnya kerasa banget :-)

    BalasHapus
  7. Tak sabar membaca novel ini. Pasti penuh penghayatan karena nulisnya lama ya, mbaa...

    BalasHapus
  8. Aku selalu suka tulisanmu mbak. Sejak dari Annida duluuuu ;)

    BalasHapus
  9. I just can't stop loving your story..

    BalasHapus
  10. Covernya manis, judulnya eye catching, nama2nya unik. Moga laris manis mbak :)

    BalasHapus
  11. Sudah jatuh cinta dulu dengan judulnya, apalagi ini menceritakan Borneo, tanah kelahiranku :)

    BalasHapus
  12. mbak Eni "Shabrina WS"... selalu memukau dalam setiap karyanya. Pengen punya beberapa bukumu, mbak...

    BalasHapus
  13. sukses yo mbakyu :) aku belum bisa nyusul :)

    BalasHapus
  14. 1.Mbak Adya, saya juga suka Arba :D
    2.Mbak Dwi, makasih Mbak Dwi :)
    3.Mbak Ihan, jadi kira-kira siapa ya? hihihi...
    4.Spaceblog, punyanya blogspot juga kok :)
    5.Mbak Eni, asyik mau dibaca novelis keren nih. makasiih :)
    6. Mbak Riawani, saya masih jauh dari Mbak Anindita.
    7. Mbak Leyla, tunggu pak Pos ya :)
    8.Mbak Fardelyn, makasiih, jadi menceng nih jilbab saya :D
    9.Mbak Linda, ooh Mbaaak...jadi deg-degan. :)
    10.Mbak Mugniar, aamiin, makasih doanya Mbak :)
    11. Mbak Esti, waaah Mbak kelahiran Borneo? saya menyukai kata Borneo :)
    12. Mbak Faiza, alhamdulillah, makasih ya Mbak sudah berkenan :)
    13. Ao_Shy, haloo gimana? ini yg Rosita dah edit lho :)

    BalasHapus
  15. jadi penasaran sama bukunya *bookmark dulu :)

    BalasHapus
  16. Mba Shabrina selalu mengangkat lokalitas. Jadi, judul begini yg paling pas, ga ngenglish hehehe... Atlet dayung, rumah bettang.. Bener2 ga biasa.... :)

    BalasHapus
  17. Membacanya seakan2 saya yg berada di rumah betang itu.

    BalasHapus
  18. saya suka prolog awalnya,,, tentang betang tentang karayan....

    BalasHapus
  19. Mbak Wuri, monggo Mbak :) Makasih sudha mampir :)

    Mbak Rima, terima kasih Mbak, sudah baca. Tapi masih jauh dari sempurna nih, masih harus banyak berlatih :)

    Mbak Santi, Suwun Mbak, nulisnya juga sambil membayangkan gitu ::D

    Mbak Lulu, makasiiih sudah meluangkan waktu :)

    BalasHapus
  20. Baru baca sedikit saja saya sudah hampir menangis mbak, yang namanya perjuangan memang selalu mengharukan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah baca.
      Semoga novel utuhnya suka :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...