Wanita berkebaya
ungu itu, bersandar pada pagar besi. Selama satu minggu di sini, aku selalu
melihatnya. Berdiri di tempat yang sama, dengan baju yang sama, dan tatapan
yang sama. Apa dia salah satu dari pengantar murid-murid TK ini? Tapi,
dia bahkan sudah di sana saat belum ada siapa-siapa. Mungkin, dia peminta-minta.
Segera kepersiapkan meja
kursi, buku-buku, permainan dan alat belajar yang lain. Murid-muridku mulai berdatangan,
dan wanita berkebaya ungu itu masih berdiri diantara para pengantar.
Apa tidak ada yang memberi beberapa rupiah untuknya? Batinku, sambil mengaduk
tas, mencari beberapa uang logam. Aku mendekati wanita tua itu, tersenyum dan
mengulurkan tangan kepadanya
“Apa
ini?”
“Mmm…” Aku mengangguk. “Maaf, hanya—“
“Ha…ha! Ha…ha!” Wanita berkebaya ungu itu tertawa,
memperlihatkan gigi kecoklatan yang jarang-jarang.
“Kamu pikir aku pengemis?” Dia berbicara keras sekali,
sampai-sampai beberapa pengantar murid melihat ke arah kami. Aku tersenyum menutupi canggung, sambil menarik
tanganku.
“Jangan sembarangan. Aku bukan pengemis!” ucapnya setajam
tatapannya.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Mukaku
seperti dilempari bara. Aku mengangguk sambil tetap tersenyum. Entah bagaimana
bentuk senyumku. Kuabaikan beberapa pengantar murid yang bisik-bisik.
“Kukira
dia pengemis...” ucapku mendekati Mbak Zahra, guru senior.
“Dia memang begitu, sering di sana.”
“Oh ya ampun, kukira peminta-minta. Aku sungguh malu. Dia
marah-marah saat kuulurkan uang padanya...”
Mbak Zahra
terkekeh. “Dulu semua orang mengira begitu, termasuk aku…”
Percakapan kami terputus oleh bunyi bel masuk.
Hingga waktu mengajar usai, dan murid-murid sudah pulang,
aku tetap memikirkan wanita berkebaya ungu itu.
Hari berikutnya dan hari berikutnya lagi. Dia selalu ada
di sana, berdiri di tempat yang sama, dengan tatapan yang sama. Tentu saja
masih dengan baju yang sama –kebaya ungunya.
Kadang aku melihat dia tersenyum, namun
tak jarang kudapati matanya berkaca-kaca. Meski penasaran, tapi semakin lama
aku terbiasa dengan kehadirannya.
Hingga suatu
pagi, wanita berkebaya ungu tak muncul lagi.
“Kepala Sekolah menyuruhnya pergi.”
Aku menelan
ludah.
“Kemarin,
tiba-tiba dia menggendong salah satu murid. Anak itu nangis ketakutan. Orang tuanya marah-marah
dan melaporkan ke Pak Kepala Sekolah kalau muridnya akan diculik. Wali murid
juga meminta agar nenek itu tidak diijinkan berdiri di sana. Dulu memang
peristiwa seperti itu beberapa kali terjadi. Nenek itu sering menyentuh
anak-anak.”
Aku membungkam mulutku dengan telapak tangan.
“Jadi, demi keamanan
dan ketenangan bersama, Kepala Sekolah menyuruhnya pergi.”
Sambil berjalan pulang aku memikirkan kemana perginya
wanita itu. Benarkah dia penculik anak-anak yang akhir-akhir ini banyak
terdengar? Oh ya ampun, apa itu tidak terlalu berlebihan?
Aku menahan
napas, ketika mataku menangkap ujung kebaya ungu berkibar di bawah pohon Sono
Keling. Kuambil jeda beberapa saat untuk menata perasaanku, sebelum
mememutuskan mendekatinya.
“Nek…” aku memanggilnya pelan. Wanita itu memainkan ujung
bajunya.
“Duduk di sini, tidak boleh?”
“Oh, boleh, boleh, Nek. Tidak ada yang melarang.” Aku
buru-buru menyakinkannya.
“Kamu juga menganggapku penculik?”
Aku
menggeleng.
“Sekaliiiiii saja,” punggung tangan keriput itu menyeka
matanya. “Aku ingin pegang kulit mereka yang halus. Memeluk, mencium bau mereka
yang wangi. Itu salah ya?”
Mendadak, aku merasa segenggam sarang laba-laba
disumpalkan ke tenggorokanku. Aku menggeleng lagi.
“Tapi kalian ngusir aku?”
Aku memegang
tangannya.
“Nek…” Aku menelan ludah dengan susah payah. “Saya
percaya Nenek orang baik.”
“Kukira lebih mudah menjalani masa tua.”
Aku menggigit bibir.
Lalu, tanpa
kuminta, ceritanya mengalir dari
bibirnya yang kering.
“Menuk, anakku satu-satunya minta nikah. Semua
makanan siap. Terop siap. Undangan
siap. Kawinan besar.”
Aku tak bersuara, menunggunya melanjutkan cerita.
“Malam-malam, tanggul jebol. Lumpur ngamuk kampung. Ludes
semua. Kami lari. Orang-orang lari.”
Aku tak menyela.
“Menuk nikah di pengungsian, terus pergi ke Sumatra.”
“Ha…ha!” Nenek itu tertawa sumbang. “Kamu tahu? Memangnya
kami belut?”
Aku
mengerutkan dahiku.
“Belut?” aku membeo tak mengerti.
“Hanya belut yang tinggal di lumpur tho. Lho, kamu tidak percaya. Rumah kami tinggal atapnya. Kayu-kayu
mebel juga. Suamiku ambruk, tidak pernah bangun lagi. Mati.”
“Innalillah...” Aku membungkan mulut.
“Tetanggaku stress. Edan. Aku tidak mau ketularan...hahaha...aku
minggat.”
Wanita berkebaya ungu itu tertawa dengan air mata tumpah.
Aku hanya menebak-nebak ke arah mana
ceritanya.
“Aku bukan penculik! Tapi, kalian kayak lumpur, ngusir aku!”
Tiba-tiba
nenek itu berdiri dan menatapku tajam. Telunjuknya mengacung-ngacung ke arahku.
Wajahnya memerah.
“Nek… saya tidak mengusir nenek. Mari duduk lagi nek…”
Aku mencoba
menenangkan. Membimbingnya duduk dan mengeluarkan botol air minum dari tasku.
Aku menyodorkan kepadanya. Dengan gemetar dia menenggaknya hingga habis.
“Oh Gusti Pangeran!” Matanya melebar. “Aku bukan
pengemis!” Dia mengembalikan botol minumku.
Aku tak tahu
harus bagaimana.
“Aku ini waras lho, bukan wong edan. Lha,
kalau aku edan, yang ngebor lumpur itu apa namanya? Ha…ha! Kuculik tahu rasa! Bumi
gonjang-ganjing! Langit kelop-kelop. Wong edan golek momongaaaan…”
Aku merinding,
Kalimatnya semakin tak tertata.
“Nenek sudah makan belum?” aku berusaha mencairkan
suasana.
“Saya akan beli makanan dulu ya?”
“Bocah ngeyel! Aku
ora ngemis. Ooo…menghina! Urus saja dirimu! Pulang sana, nanti rumahmu
direndam lumpur lho. Ayo, pulang! Beresi barang-barangmu. Lumpur bisa nyembur
di dapur. Di kamar. Di halaman. Di jalan. Di pasar. Ya tho? Ya tho?”
Dia terkekeh.
Tiba-tiba, wanita berkebaya ungu itu mengatupkan bibir.
Tangan keriputnya mendorongku. Lalu, tanpa sepatah katapun ia tertatih
meninggalkan aku yang termangu. Dia terus berjalan, tanpa sekalipun menoleh ke
belakang.
Keesokan harinya, dan besoknya, dan besoknya lagi dan
besoknya lagi. Aku tidak melihat wanita berkebaya ungu dengan sepasang mata
layunya itu. Aku tidak lagi bertemu dengannya dan tidak pernah mendengar kabarnya.
Kisah lumpur
itu memang sudah bertahun-tahun. Tapi sisa dukanya masih ada. Wanita itu –wanita
dengan kebaya ungu-- telah berjalan
hingga di kotaku, yang jaraknya beratus kilo dari luberan lumpur itu. Aku bisa
melihat luka di sepanjang mata tuanya. Luka yang dia bawa bersama langkahnya, mungkin,
sampai dia berhenti entah di mana.[]
yeah, duka yg manis...
BalasHapusya Allah sediihnya hiks...
BalasHapusah ini.. jadi inget rumah temenku yang terendam lumpur dan hidupnya berubah setelah itu.. hiks
BalasHapusLapindo oh lapindo, dukamu berlari ke mana-mana
BalasHapusMak Jleb Mbak, Kedatangan lapindo menyisakan banyak luka :(
BalasHapusIdenya selaluuuu ada. Iriiii. Uhukz
BalasHapuskeren, doben! suka yang ini... bacanya sampai hati rasa ngilu
BalasHapusbacanya jadi terharu gini mbak :(
BalasHapus