Jumat, 18 Maret 2016

Wanita Berkebaya Ungu [Koran Pantura 17 Maret 2016]




Wanita berkebaya ungu itu, bersandar pada pagar besi. Selama satu minggu di sini, aku selalu melihatnya. Berdiri di tempat yang sama, dengan baju yang sama, dan tatapan yang sama. Apa dia salah satu dari pengantar murid-murid TK ini?  Tapi, dia bahkan sudah di sana saat belum ada siapa-siapa. Mungkin, dia peminta-minta.
            Segera kepersiapkan meja kursi, buku-buku, permainan dan alat belajar yang lain. Murid-muridku mulai berdatangan, dan wanita berkebaya ungu itu masih berdiri diantara para pengantar.
Apa tidak ada yang memberi beberapa rupiah untuknya? Batinku, sambil mengaduk tas, mencari beberapa uang logam. Aku mendekati wanita tua itu, tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya          
Apa ini?”
            Mmm…” Aku mengangguk. “Maaf, hanya—“
            “Ha…ha! Ha…ha!” Wanita berkebaya ungu itu tertawa, memperlihatkan gigi kecoklatan yang jarang-jarang.
            “Kamu pikir aku pengemis?” Dia berbicara keras sekali, sampai-sampai beberapa pengantar murid melihat ke arah kami. Aku  tersenyum menutupi canggung, sambil menarik tanganku.
            “Jangan sembarangan. Aku bukan pengemis!” ucapnya setajam tatapannya.
            Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Mukaku seperti dilempari bara. Aku mengangguk sambil tetap tersenyum. Entah bagaimana bentuk senyumku. Kuabaikan beberapa pengantar murid yang bisik-bisik.
            “Kukira dia pengemis...” ucapku mendekati Mbak Zahra, guru senior.
            “Dia memang begitu, sering di sana.”
            “Oh ya ampun, kukira peminta-minta. Aku sungguh malu. Dia marah-marah saat kuulurkan uang padanya...”
Mbak Zahra terkekeh. “Dulu semua orang mengira begitu, termasuk aku…”
            Percakapan kami terputus oleh bunyi bel masuk.
            Hingga waktu mengajar usai, dan murid-murid sudah pulang, aku tetap memikirkan wanita berkebaya ungu itu.
            Hari berikutnya dan hari berikutnya lagi. Dia selalu ada di sana, berdiri di tempat yang sama, dengan tatapan yang sama. Tentu saja masih dengan  baju yang sama –kebaya ungunya.  Kadang aku melihat dia tersenyum, namun tak jarang kudapati matanya berkaca-kaca. Meski penasaran, tapi semakin lama aku  terbiasa dengan kehadirannya.
Hingga suatu pagi, wanita berkebaya ungu tak muncul lagi.
            “Kepala Sekolah menyuruhnya pergi.”
Aku menelan ludah.
“Kemarin, tiba-tiba dia menggendong salah satu murid. Anak  itu nangis ketakutan. Orang tuanya marah-marah dan melaporkan ke Pak Kepala Sekolah kalau muridnya akan diculik. Wali murid juga meminta agar nenek itu tidak diijinkan berdiri di sana. Dulu memang peristiwa seperti itu beberapa kali terjadi. Nenek itu sering menyentuh anak-anak.”
            Aku membungkam mulutku dengan telapak tangan.
“Jadi, demi keamanan dan ketenangan bersama, Kepala Sekolah menyuruhnya pergi.”
            Sambil berjalan pulang aku memikirkan kemana perginya wanita itu. Benarkah dia penculik anak-anak yang akhir-akhir ini banyak terdengar? Oh ya ampun, apa itu tidak terlalu berlebihan?    
Aku menahan napas, ketika mataku menangkap ujung kebaya ungu berkibar di bawah pohon Sono Keling. Kuambil jeda beberapa saat untuk menata perasaanku, sebelum mememutuskan  mendekatinya.
            “Nek…” aku memanggilnya pelan. Wanita itu memainkan ujung bajunya.
            “Duduk di sini, tidak boleh?”
            “Oh, boleh, boleh, Nek. Tidak ada yang melarang.” Aku buru-buru menyakinkannya.
            “Kamu juga menganggapku penculik?”
Aku menggeleng.
            “Sekaliiiiii saja,” punggung tangan keriput itu menyeka matanya. “Aku ingin pegang kulit mereka yang halus. Memeluk, mencium bau mereka yang wangi. Itu salah ya?”
            Mendadak, aku merasa segenggam sarang laba-laba disumpalkan ke tenggorokanku. Aku menggeleng lagi.
            “Tapi kalian ngusir aku?”
Aku memegang tangannya.
            “Nek…” Aku menelan ludah dengan susah payah. “Saya percaya Nenek orang baik.”
            “Kukira lebih mudah  menjalani masa tua.”
            Aku menggigit bibir.
Lalu, tanpa kuminta,  ceritanya mengalir dari bibirnya yang kering.
 “Menuk, anakku satu-satunya minta nikah. Semua makanan siap. Terop siap. Undangan siap. Kawinan besar.”
            Aku tak bersuara, menunggunya melanjutkan cerita.
            “Malam-malam, tanggul jebol. Lumpur ngamuk kampung. Ludes semua. Kami lari. Orang-orang lari.”
            Aku tak menyela.
            “Menuk nikah di pengungsian, terus pergi ke Sumatra.”
            “Ha…ha!” Nenek itu tertawa sumbang. “Kamu tahu? Memangnya kami belut?”
Aku mengerutkan dahiku.
            “Belut?” aku membeo tak mengerti.
            “Hanya belut yang tinggal di lumpur tho. Lho, kamu tidak percaya. Rumah kami tinggal atapnya. Kayu-kayu mebel juga. Suamiku ambruk, tidak pernah bangun lagi. Mati.”
            “Innalillah...” Aku membungkan mulut.
            “Tetanggaku stress. Edan. Aku tidak mau ketularan...hahaha...aku minggat.”
            Wanita berkebaya ungu itu tertawa dengan air mata tumpah. Aku hanya menebak-nebak  ke arah mana ceritanya.
            “Aku bukan penculik! Tapi, kalian kayak lumpur, ngusir aku!”
Tiba-tiba nenek itu berdiri dan menatapku tajam. Telunjuknya mengacung-ngacung ke arahku. Wajahnya memerah.
            “Nek… saya tidak mengusir nenek. Mari duduk lagi nek…”
Aku mencoba menenangkan. Membimbingnya duduk dan mengeluarkan botol air minum dari tasku. Aku menyodorkan kepadanya. Dengan gemetar dia menenggaknya hingga habis.
            “Oh Gusti Pangeran!” Matanya melebar. “Aku bukan pengemis!” Dia mengembalikan botol minumku.
Aku tak tahu harus bagaimana.
            “Aku ini waras lho, bukan wong edan. Lha, kalau aku edan, yang ngebor lumpur itu apa namanya? Ha…ha! Kuculik tahu rasa! Bumi gonjang-ganjing! Langit kelop-kelop. Wong edan golek momongaaaan…”
Aku merinding, Kalimatnya semakin tak tertata.
            “Nenek sudah makan belum?” aku berusaha mencairkan suasana.
            “Saya akan beli makanan dulu ya?”
            “Bocah ngeyel! Aku ora ngemis. Ooo…menghina!  Urus saja dirimu! Pulang sana, nanti rumahmu direndam lumpur lho. Ayo, pulang! Beresi barang-barangmu. Lumpur bisa nyembur di dapur. Di kamar. Di halaman. Di jalan. Di pasar. Ya tho? Ya tho?” Dia terkekeh.
            Tiba-tiba, wanita berkebaya ungu itu mengatupkan bibir. Tangan keriputnya mendorongku. Lalu, tanpa sepatah katapun ia tertatih meninggalkan aku yang termangu. Dia terus berjalan, tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
            Keesokan harinya, dan besoknya, dan besoknya lagi dan besoknya lagi. Aku tidak melihat wanita berkebaya ungu dengan sepasang mata layunya itu. Aku tidak lagi bertemu dengannya dan tidak pernah mendengar kabarnya.
Kisah lumpur itu memang sudah bertahun-tahun. Tapi sisa dukanya masih ada. Wanita itu –wanita dengan kebaya ungu--  telah berjalan hingga di kotaku, yang jaraknya beratus kilo dari luberan lumpur itu. Aku bisa melihat luka di sepanjang mata tuanya. Luka yang dia bawa bersama langkahnya, mungkin, sampai dia berhenti entah di mana.[]

8 komentar:

  1. ah ini.. jadi inget rumah temenku yang terendam lumpur dan hidupnya berubah setelah itu.. hiks

    BalasHapus
  2. Lapindo oh lapindo, dukamu berlari ke mana-mana

    BalasHapus
  3. Mak Jleb Mbak, Kedatangan lapindo menyisakan banyak luka :(

    BalasHapus
  4. keren, doben! suka yang ini... bacanya sampai hati rasa ngilu

    BalasHapus
  5. bacanya jadi terharu gini mbak :(

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...