Rabu, 11 Mei 2016

Lelaki dan Foto-Fotonya [Cerpen Majalah Ummi]




Setiap pagi, lelaki itu menjemur dua puluh enam lembar foto dengan wajah berseri-seri. Beberapa foto itu telah memudar bagian tepinya. Biasanya, dia akan mengamati satu persatu sebelum menjejer di teras semen yang berlimpah sinar matahari.
            Orang-orang yang lewat selalu menyapanya. Ia terkekeh, lalu berkata; “Menjemur foto.”
            Kemudian dia akan menceritakan  perihal foto-foto itu. Dari foto anak-anaknya, menantu, 11 cucu, sampai dua buyutnya. Terakhir, dan selalu dijemur paling akhir, adalah fotonya yang sedang duduk bersama istrinya di depan perapian. Lelaki itu tertangkap kamera saat tertawa lebar dengan gusi-gusi merah kecoklatan, menatap ke arah wanita yang  meniup ubi bakar setengah gosong. Cucunya  yang memotret beberapa tahun lalu ketika mereka masih bersama.
            Pernah, lelaki itu bertanya dalam hati, kenapa yang Maha Pemilik kehidupan tidak menjemputnya lebih dulu daripada istrinya? Atau memanggil mereka bersama. Tapi toh, dia segera mengusir pertanyaan itu jauh-jauh dari kepalanya. Usianya telah menua kini, dan dia takut pertanyaan seperti itu hanya akan mengurangi rasa syukurnya.
            Sebenarnya, lelaki itu bukan manula sebatangkara. Dia punya empat anak. Yang tiga,  tinggal di Sulawesi, Bali dan Jakarta. Mereka kebanggaannya. Kerja keras sebagai petani telah berhasil mengantarkan anaknya mendapat jalan kehidupan yang layak. Kalaupun pada akhirnya mereka menjadi jarang pulang, dia menganggap itu harga terakhir yang harus dibayar. Baginya, menjadi orangtua tak pernah selesai. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, ada peran-peran yang bergeser.
            Tidak terlalu mencampuri urusan anak-anaknya, dan tidak menuntut perhatian, adalah sebagian dari peran yang bergeser itu. Maka, satu-satunya cara yang dia lakukan untuk membunuh sepi adalah, dengan melihat foto-foto itu.
            Anak pertamanya, satu-satunya perempuan, tinggal dua ratus meter dari rumahnya. Menikah dengan tetangganya dan menjalani kehidupan petani yang sibuk. Menghabiskan seluruh siang di ladang dan hanya istirahat untuk sholat dan makan.
            Meskipun demikian, anak perempuan itulah yang selalu datang pagi-pagi mengantar sarapan. Sementara untuk makan siang dan malam, lelaki itu datang sendiri karena tidak mau merepotkan.
            Dulu, sepeninggal istrinya, hampir setiap hari anaknya mengajak tinggal bersama. Namun dia bersikukuh untuk tetap berada di rumah tua itu. Anak-anaknya yang lain juga mengajak tinggal bersama. Namun perasaannya mengatakan, bahwa hatinya lebih condong untuk menetap di tanah yang telah memberinya kehidupan. Setidaknya, entah di usia yang keberapa, diam-diam dia sudah mempercayakan separuh hati pada anak sulungnya. Percayalah, perasaan seperti itu akan menghampiri para orangtua yang telah lanjut usia.
***
Lelaki itu, lelaki dengan rambut yang semuanya telah memutih dan punggung sedikit membungkuk, selalu terbangun beberapa menit sebelum subuh. Duduk sejenak di tepi ranjang, menggulung selimut garis-garis biru, menaruhnya di atas bantal. Kemudian, memakai sandal jepit karet dan membasuh kulit keriputnya di pancuran belakang. Lalu, dia akan sholat beberapa rokaat dan menyambungnya  zikir hingga adzan berkumandang.
            Pagi selalu memberinya perasaan yang luar biasa. Akhir-akhir ini, sebelum tidur, lelaki itu selalu menyisakan pertanyaan dalam kepalanya, apakah esok hari dia masih bisa melihat matahari? Masih bisa menyesap kopi panas yang disedu anak perempuannya?
Dia berusia tujuh puluh satu tahun kini. Gerakannya masih lincah dan pandangannya masih awas. Tak sulit baginya berjalan ke mushola. Menyusuri jalan tanah, jembatan bambu, lalu menyeberang jalan aspal. Dia akan menjadi orang terakhir yang keluar dari mushola, setelah menyapa satu persatu jamaah.
***
Ritual pagi yang nyaris sama.
Setelah menata kembali foto-foto yang dijemur itu, biasanya ia akan menyimpan ke dalam kantong kertas, melipat tiga kali ujungnya dan memasukkan ke dalam saku kemeja. Kemudian, dia menuju ke salah satu rumah temannya.
 “Tidak ada kabar anak-anakmu mau pulang?”
“Yang penting mereka sehat,” jawabnya sambil mengusap  gambar di tangan. Dia sadar, pulang kampung, selain urusan cuti juga harus menyesuaikan libur cucu-cucunya. Dan, mengatakan yang penting mereka sehat, adalah harapan paling jujur dari dalam hatinya.
Sebenarnya, masih ada satu yang selalu diharapkan, jangan sampai anak cucunya lupa akan kewajiban kepada Allah. Tetapi, pengharapan itu adalah doa rahasianya. Maka, jika dia seringkali mengajak temannya untuk melakukan kewajiban itu, tak lain dan tak bukan adalah sebagai pengharapannya, agar di tanah yang jauh dari tempatnya berpijak, ada orang yang mengingatkan anak-anaknya, jika mereka lupa.
  “Itu bekal penting.” Lelaki itu  bicara dengan wajah serius, lalu teman bicaranya menanggapi terkekeh.
“Jangan tertawa.”
Beberapa teman manulanya memang jarang yang melaksanakan sholat. Bukan saja karena tak hafal bacaannya. Bahkan diantara mereka masih banyak yang percaya kekuatan sesaji. Biasanya, jika percakapan mereka telah menyentuh ke wilayah itu, temannya akan segera pamit pulang, atau bahkan dia yang memutuskan pembicaraan karena terdengar adzan.
Tapi, di hari yang lain mereka akan bertemu lagi. Tertawa, dan bertukar cerita masa muda.
Belakangan, ketika satu persatu temannya sakit-sakitan, dia yang kemudian rutin mengunjungi mereka. Tentu saja dengan foto-foto di sakunya.
Lalu kunjungan itu satu persatu berubah menjadi takziah.
“Siapapun yang lebih dulu. Kau ataupun aku, semuanya pasti akan pergi.” Begitu ucapnya, selepas mengantar temannya ke peristirahatan terakhirnya.
Dia tidak pernah menangisi kepergian seseorang. Bahkan istrinya sekalipun. Tapi, dia selalu menyesalkan beberapa temannya yang hingga akhir usianya, hanya  menjalankan sholat saat hari raya saja.
***
“Mbah…”
Lelaki itu mendongak, ketika seorang pemuda menyeberangi halaman rumahnya. “Menjemur foto,” dia mengangkat alis dan tersenyum lebar.
Pemuda itu berjongkok di sampingnya.
“Ini pas bakar ubi…” Lelaki itu terkekeh. Sementara pemuda di sampingnya bergerak-gerak gelisah.
 “Mbah?”
“Kalau ini—“
“Maaf,” potong pemuda itu. “Mbah Jo meninggal.”
Seketika, lelaki itu menghentikan gerakannya. Dia menatap tak berkedip kepada pemuda di hadapannya.
“Jo?” ucapnya serak dan dalam. Lalu tanpa berkata-kata lagi, dia memberesi semua foto-fotonya. Mengambil peci dan segera pergi.
Sepanjang jalan, ia mengenang kembali segala hal tentang Jo. Temannya itu sangat disegani karena pernah menjabat sebagai kepala dusun. Jo, telah lama sakit. Semula susah jalan. Lalu pendengarannya berkurang. Mata kirinya rabun dua tahun kemudian. Dan, beberapa bulan terakhir, sudah tak mengenali siapapun.
Bahkan pernah, ia memergoki Jo tua mempermainkan kotorannya sendiri, yang disambut omelan anak perempuannya. “Ngurusi bapak lebih berat daripada ngurus bayi. Capek!”
Lelaki itu tak berkata-kata. Ada rasa nyeri menghujam ulu hatinya.
***
            Sejak pagi itu, tak ada lagi teman tua yang bisa dikunjungi. Semua telah pergi. Kini, yang bisa dia lakukan hanya bicara pada ke dua puluh enam lembar foto-fotonya.
            “Gusti Allah…” ucapnya. “Aku merelakan semuanya…tentang anak-anakku. Cucu-cucuku. Aku minta kepadaMu…” Kalimatnya menggantung. Lama dia memilah, permintaan apa yang pantas diucapkan. “Aku tidak ingin merepotkan mereka.”
***
            Beberapa musim berikutnya, setelah hujan reda dan pagi mulai berlimpah cahaya matahari, para tetangga menyesaki rumah lelaki itu. Mereka menyadari  tak akan lagi melihat lelaki tua dan foto-fotonya. Banyak yang merasa kehilangan. Tetapi, tak ada yang lebih kehilangan daripada anak perempuannya, yang diam-diam seringkali menyaksikan lelaki itu menjemur foto-fotonya.
            Anak perempuan, yang di suatu pagi menemukan lelaki itu tidur dengan foto-foto berserakan di lantai. Anak perempuannya, yang dengan air mata menggarisi pipi memunguti gambar-gambar itu.
            “Bapak selalu menyebut nama kita setiap pagi. Selalu merawat senyum kita, hingga akhir hidupnya.”
            Anak-anak. Para menantu. Cucu-cucu. Mereka duduk melingkar. Tak ada sahutan. Sunyi membentangkan rasa kehilangan. Dan, isakan kembali pecah satu-satu.[]

*Dimuat Majalah Ummi Desember 2015


26 komentar:

  1. Hiks... Masa tua yang sangat sepi. Tapi tetap menyimpan doa di dalam hati.

    BalasHapus
  2. Mba Shab..isakan juga pecah disini.. :(

    BalasHapus
  3. Ya Allah, sesak dan nangis bacanya.. :'(

    BalasHapus
  4. ya alah mbak, aku nangis bacanya T_T

    BalasHapus
  5. Sediiiiih banget mbak :(
    Terima kasih sudah mengingatkan kami bahwa cepat atau lambat pasti kita semua akan berpulang ke rahmatullah.

    BalasHapus
  6. :'( meweeeek. Barakallah Kak Sab, pesannya ngena sekali

    BalasHapus
  7. Ya Allah... sedih sekali... Inget bapakku yang sekarang umurnya udah 76 tahun, tapi Alhamdulillah masih tinggal sama-sama keluarga. Hiks... mewek aku baca cerpen ini. Kereeen bangeeeettt!11

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suwuuun sudah mampir. Aku juga sedih pas nulisnya. Baper.

      Hapus
  8. Pengen pulaaang... dan memeluk ibu bapak :'(

    BalasHapus
  9. Ingat Ayah sama Ibu di kampung, sudah mulai menua.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga beliau sehat-sehat dan bahagia ya Mbak

      Hapus
  10. Ingat Bapakku yang juga sendirian kini... :'(

    BalasHapus
  11. Sedih banget, Mbak. Itu yg kadang2 mulai membuatku takut terhadap perantauan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ya. Kadang ada jarak yang nggak bisa kita hindari. Terima kasih sudah membaca

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...