Setiap
pagi, lelaki itu menjemur dua puluh enam lembar foto dengan wajah berseri-seri.
Beberapa foto itu telah memudar bagian tepinya. Biasanya, dia akan mengamati
satu persatu sebelum menjejer di teras semen yang berlimpah sinar matahari.
Orang-orang yang lewat selalu
menyapanya. Ia terkekeh, lalu berkata; “Menjemur foto.”
Kemudian dia akan menceritakan perihal foto-foto itu. Dari foto anak-anaknya,
menantu, 11 cucu, sampai dua buyutnya. Terakhir, dan selalu dijemur paling
akhir, adalah fotonya yang sedang duduk bersama istrinya di depan perapian.
Lelaki itu tertangkap kamera saat tertawa lebar dengan gusi-gusi merah
kecoklatan, menatap ke arah wanita yang meniup ubi bakar setengah gosong. Cucunya yang memotret beberapa tahun lalu ketika
mereka masih bersama.
Pernah, lelaki itu bertanya dalam
hati, kenapa yang Maha Pemilik kehidupan tidak menjemputnya lebih dulu daripada
istrinya? Atau memanggil mereka bersama. Tapi toh, dia segera mengusir pertanyaan
itu jauh-jauh dari kepalanya. Usianya telah menua kini, dan dia takut
pertanyaan seperti itu hanya akan mengurangi rasa syukurnya.
Sebenarnya, lelaki itu bukan manula
sebatangkara. Dia punya empat anak. Yang tiga, tinggal di Sulawesi, Bali dan Jakarta. Mereka
kebanggaannya. Kerja keras sebagai petani telah berhasil mengantarkan anaknya
mendapat jalan kehidupan yang layak. Kalaupun pada akhirnya mereka menjadi
jarang pulang, dia menganggap itu harga terakhir yang harus dibayar. Baginya,
menjadi orangtua tak pernah selesai. Hanya saja, seiring dengan berjalannya
waktu, ada peran-peran yang bergeser.
Tidak terlalu mencampuri urusan
anak-anaknya, dan tidak menuntut perhatian, adalah sebagian dari peran yang
bergeser itu. Maka, satu-satunya cara yang dia lakukan untuk membunuh sepi
adalah, dengan melihat foto-foto itu.
Anak pertamanya, satu-satunya
perempuan, tinggal dua ratus meter dari rumahnya. Menikah dengan tetangganya
dan menjalani kehidupan petani yang sibuk. Menghabiskan seluruh siang di ladang
dan hanya istirahat untuk sholat dan makan.
Meskipun demikian, anak perempuan
itulah yang selalu datang pagi-pagi mengantar sarapan. Sementara untuk makan
siang dan malam, lelaki itu datang sendiri karena tidak mau merepotkan.
Dulu, sepeninggal istrinya, hampir
setiap hari anaknya mengajak tinggal bersama. Namun dia bersikukuh untuk tetap
berada di rumah tua itu. Anak-anaknya yang lain juga mengajak tinggal bersama.
Namun perasaannya mengatakan, bahwa hatinya lebih condong untuk menetap di
tanah yang telah memberinya kehidupan. Setidaknya, entah di usia yang keberapa,
diam-diam dia sudah mempercayakan separuh hati pada anak sulungnya. Percayalah,
perasaan seperti itu akan menghampiri para orangtua yang telah lanjut usia.
***
Lelaki
itu, lelaki dengan rambut yang semuanya telah memutih dan punggung sedikit
membungkuk, selalu terbangun beberapa menit sebelum subuh. Duduk sejenak di
tepi ranjang, menggulung selimut garis-garis biru, menaruhnya di atas bantal.
Kemudian, memakai sandal jepit karet dan membasuh kulit keriputnya di pancuran
belakang. Lalu, dia akan sholat beberapa rokaat dan menyambungnya zikir hingga adzan berkumandang.
Pagi selalu memberinya perasaan yang
luar biasa. Akhir-akhir ini, sebelum tidur, lelaki itu selalu menyisakan
pertanyaan dalam kepalanya, apakah esok hari dia masih bisa melihat matahari?
Masih bisa menyesap kopi panas yang disedu anak perempuannya?
Dia
berusia tujuh puluh satu tahun kini. Gerakannya masih lincah dan pandangannya
masih awas. Tak sulit baginya berjalan ke mushola. Menyusuri jalan tanah,
jembatan bambu, lalu menyeberang jalan aspal. Dia akan menjadi orang terakhir
yang keluar dari mushola, setelah menyapa satu persatu jamaah.
***
Ritual
pagi yang nyaris sama.
Setelah
menata kembali foto-foto yang dijemur itu, biasanya ia akan menyimpan ke dalam
kantong kertas, melipat tiga kali ujungnya dan memasukkan ke dalam saku kemeja.
Kemudian, dia menuju ke salah satu rumah temannya.
“Tidak ada kabar anak-anakmu mau pulang?”
“Yang
penting mereka sehat,” jawabnya sambil mengusap gambar di tangan. Dia sadar, pulang kampung,
selain urusan cuti juga harus menyesuaikan libur cucu-cucunya. Dan, mengatakan yang penting mereka sehat, adalah
harapan paling jujur dari dalam hatinya.
Sebenarnya,
masih ada satu yang selalu diharapkan, jangan sampai anak cucunya lupa akan
kewajiban kepada Allah. Tetapi, pengharapan itu adalah doa rahasianya. Maka,
jika dia seringkali mengajak temannya untuk melakukan kewajiban itu, tak lain
dan tak bukan adalah sebagai pengharapannya, agar di tanah yang jauh dari
tempatnya berpijak, ada orang yang mengingatkan anak-anaknya, jika mereka lupa.
“Itu
bekal penting.” Lelaki itu bicara dengan
wajah serius, lalu teman bicaranya menanggapi terkekeh.
“Jangan
tertawa.”
Beberapa
teman manulanya memang jarang yang melaksanakan sholat. Bukan saja karena tak
hafal bacaannya. Bahkan diantara mereka masih banyak yang percaya kekuatan
sesaji. Biasanya, jika percakapan mereka telah menyentuh ke wilayah itu,
temannya akan segera pamit pulang, atau bahkan dia yang memutuskan pembicaraan
karena terdengar adzan.
Tapi,
di hari yang lain mereka akan bertemu lagi. Tertawa, dan bertukar cerita masa
muda.
Belakangan,
ketika satu persatu temannya sakit-sakitan, dia yang kemudian rutin mengunjungi
mereka. Tentu saja dengan foto-foto di sakunya.
Lalu
kunjungan itu satu persatu berubah menjadi takziah.
“Siapapun
yang lebih dulu. Kau ataupun aku, semuanya pasti akan pergi.” Begitu ucapnya, selepas
mengantar temannya ke peristirahatan terakhirnya.
Dia
tidak pernah menangisi kepergian seseorang. Bahkan istrinya sekalipun. Tapi,
dia selalu menyesalkan beberapa temannya yang hingga akhir usianya, hanya menjalankan sholat saat hari raya saja.
***
“Mbah…”
Lelaki
itu mendongak, ketika seorang pemuda menyeberangi halaman rumahnya. “Menjemur
foto,” dia mengangkat alis dan tersenyum lebar.
Pemuda
itu berjongkok di sampingnya.
“Ini
pas bakar ubi…” Lelaki itu terkekeh. Sementara pemuda di sampingnya bergerak-gerak
gelisah.
“Mbah?”
“Kalau
ini—“
“Maaf,”
potong pemuda itu. “Mbah Jo meninggal.”
Seketika,
lelaki itu menghentikan gerakannya. Dia menatap tak berkedip kepada pemuda di
hadapannya.
“Jo?”
ucapnya serak dan dalam. Lalu tanpa berkata-kata lagi, dia memberesi semua
foto-fotonya. Mengambil peci dan segera pergi.
Sepanjang
jalan, ia mengenang kembali segala hal tentang Jo. Temannya itu sangat disegani
karena pernah menjabat sebagai kepala dusun. Jo, telah lama sakit. Semula susah
jalan. Lalu pendengarannya berkurang. Mata kirinya rabun dua tahun kemudian.
Dan, beberapa bulan terakhir, sudah tak mengenali siapapun.
Bahkan
pernah, ia memergoki Jo tua mempermainkan kotorannya sendiri, yang disambut omelan
anak perempuannya. “Ngurusi bapak lebih berat daripada ngurus bayi. Capek!”
Lelaki
itu tak berkata-kata. Ada rasa nyeri menghujam ulu hatinya.
***
Sejak pagi itu, tak ada lagi teman
tua yang bisa dikunjungi. Semua telah pergi. Kini, yang bisa dia lakukan hanya
bicara pada ke dua puluh enam lembar foto-fotonya.
“Gusti Allah…” ucapnya. “Aku
merelakan semuanya…tentang anak-anakku. Cucu-cucuku. Aku minta kepadaMu…” Kalimatnya
menggantung. Lama dia memilah, permintaan apa yang pantas diucapkan. “Aku tidak
ingin merepotkan mereka.”
***
Beberapa musim berikutnya, setelah
hujan reda dan pagi mulai berlimpah cahaya matahari, para tetangga menyesaki
rumah lelaki itu. Mereka menyadari tak
akan lagi melihat lelaki tua dan foto-fotonya. Banyak yang merasa kehilangan. Tetapi,
tak ada yang lebih kehilangan daripada anak perempuannya, yang diam-diam
seringkali menyaksikan lelaki itu menjemur foto-fotonya.
Anak perempuan, yang di suatu pagi
menemukan lelaki itu tidur dengan foto-foto berserakan di lantai. Anak
perempuannya, yang dengan air mata menggarisi pipi memunguti gambar-gambar itu.
“Bapak selalu menyebut nama kita
setiap pagi. Selalu merawat senyum kita, hingga akhir hidupnya.”
Anak-anak. Para menantu. Cucu-cucu.
Mereka duduk melingkar. Tak ada sahutan. Sunyi membentangkan rasa kehilangan.
Dan, isakan kembali pecah satu-satu.[]
*Dimuat Majalah Ummi Desember 2015
Hiks... Masa tua yang sangat sepi. Tapi tetap menyimpan doa di dalam hati.
BalasHapusIya, begitulah. Makasih Uni sudah baca :)
HapusMba Shab..isakan juga pecah disini.. :(
BalasHapusPeluuuuk Mbak Ariin
HapusYa Allah, sesak dan nangis bacanya.. :'(
BalasHapusMakasih sudah baca ya Mbak Djayanti :)
Hapusya alah mbak, aku nangis bacanya T_T
BalasHapusduhuu maaf bikin sedih
HapusSedih, Mbak... T_T
BalasHapus#peluuuk
HapusSedih banget ceritanya :'(
BalasHapus#pukpuk
HapusSediiiiih banget mbak :(
BalasHapusTerima kasih sudah mengingatkan kami bahwa cepat atau lambat pasti kita semua akan berpulang ke rahmatullah.
Terima kasih juga Mbak, sudah mampir :)
Hapus:'( meweeeek. Barakallah Kak Sab, pesannya ngena sekali
BalasHapus#pukpuk makasih sudah mampir
HapusYa Allah... sedih sekali... Inget bapakku yang sekarang umurnya udah 76 tahun, tapi Alhamdulillah masih tinggal sama-sama keluarga. Hiks... mewek aku baca cerpen ini. Kereeen bangeeeettt!11
BalasHapusSuwuuun sudah mampir. Aku juga sedih pas nulisnya. Baper.
HapusPengen pulaaang... dan memeluk ibu bapak :'(
BalasHapusIyaaa, samaa
HapusIngat Ayah sama Ibu di kampung, sudah mulai menua.. :(
BalasHapusSemoga beliau sehat-sehat dan bahagia ya Mbak
HapusIngat Bapakku yang juga sendirian kini... :'(
BalasHapusRasanya pengen melipat jarak ya Mbak
HapusSedih banget, Mbak. Itu yg kadang2 mulai membuatku takut terhadap perantauan
BalasHapusIya, ya. Kadang ada jarak yang nggak bisa kita hindari. Terima kasih sudah membaca
Hapus