Aurora
menatap Jaime yang berdiri kaku di ambang pintu. Buku-buku berserakan di ruang
tamu. Ia tak mengucapkan sepatah katapun, hingga lelaki itu bersuara.
“Bukankah
sudah kubilang jangan—“
“Beresi
buku-bukumu?” Aurora memotong. “Kau
tidak ingin terjadi sesuatu denganku, kan?” wanita itu mengangkat satu sudut
bibirnya.
“Aurora?”
“Aku
salah mengartikan ‘sesuatu’ yang kau maksud, Jaime.”
“Kau
ini kenapa?”
“Masih
bertanya?” Bibir Aurora bergetar. “Bukannya
kau sudah tahu, kalau aku
membongkar buku-bukumu akan terjadi sesuatu dengan diriku?”
Mereka
baru seminggu menempati rumah itu. Rumah kayu yang dibangun Jaime dengan
jendela-jendela besar menghadap ke barat dan ke timur. Jaime yang mengerjakan
banyak hal pasca kepindahan mereka. Menata peletakan barang hingga memasang
tirai pada jendela-jendela.
Semulanya,
Aurora menangkap itu sebagai wujud kasih sayang Jaime. Aurora sedang hamil
empat bulan dan Jaime selalu khawatir dia akan kelelahan jika mengerjakan
banyak hal.
“Kau
ratu di rumah ini.” Begitu kata
Jaime. “Tinggal perintah, dan aku yang akan melakukan semuanya.”
Kalimat
yang wajar dan terdengar manis. Aurora menerima dengan tulus. Tak ada sebersit
kecurigaan apapun bagi Aurora. Bahkan, ketika Jaime juga melarangnya membongkar
kardus berisi buku-buku koleksi lelaki itu.
“Aku
tak ingin terjadi sesuatu denganmu,” ucap
Jaime beberapa kali dengan tatapan lembut yang tak bisa dibantah, lalu disusul
dengan kalimat, “aku sayang kamu.”
Tapi
Aurora ingin memberi kejutan pada Jaime. Wanita itu tahu, suaminya terlalu
sibuk untuk membongkar barang-barangnya sendiri. Aurora bukan orang sakit yang
tak kuat melakukan apapun. Dia wanita hamil yang justru merasa bahagia jika
berhasil melakukan sesuatu untuk orang yang dicintainya.
Namun
ternyata, membongkar buku-buku Jaime adalah sebuah kesalahan. Atau justru itu
hal yang benar? Aurora tidak tahu. Yang pasti, sesuatu benar-benar terjadi pada
dirinya, ketika sepotong kertas jatuh dari dalam buku.
Sebuah
pembatas yang tak biasa. Bergambar seorang wanita menghadap ke laut, dengan rambut yang
dipermainkan angin. “Sejauh apapun
jalanmu, doaku tak akan berhenti mengiringimu” begitu tulisan yang ada di
baliknya.
Seketika,
hawa panas meluap-luap di dada Aurora.
Dia lalu membuka buku-buku berikutnya. Antara berharap dan tidak untuk
menemukan sesuatu yang lain. Dan, hatinya ambles ketika mendapati sebuah
kartu ucapan dalam sebuah buku bersampul kumal.
Seperti daun luruh satu
satu, begitulah angka lepas dari penanggalan. Selamat ulang tahun, Jaime.
Lutut
Aurora gemetar. Tangannya berkeringat. Tapi dia tak berhenti membolak-balikkan
setiap halaman buku. Meski semakin lama, rasa panas menjalari ke seluruh
tubuhnya. Di sebuah buku puisi Pablo Neruda, dia menemukan gambar siluet tangan terentang, yang seakan
ingin memetik matahari.
Kelak, bangunlah sebuah
rumah dengan jendela menghadap ke timur dan ke barat.
Aurora
terhempas di kursi rotan. Dia menatap nanar sekeliling rumahnya. Jelas dalam
ingatannya, ketika Jaime mencorat-coret desain awal rumah mereka. Dan, suara
itu segera memenuhi kendang telinganya. “Harus
ada jendela-jendela yang lebar. Menghadap ke timur dan ke barat. Dengan begitu,
cahaya akan melimpah.”
Betapa
kagum Aurora saat itu. Tetapi kini, semua seketika lesap. Dia sama sekali tidak
menyangka kalau rumah yang mereka tempati adalah rumah yang dibangun Jaime
untuk seseorang yang lain.
Aurora
merunut kembali hubungannya dengan Jaime. Dia bertemu lelaki itu ketika masih
duduk di kelas satu SMA. Banyak teman lelaki yang menyatakan cinta padanya di
saat itu. Tapi, Jaime, adalah orang pertama yang memenuhi hatinya.
Hubungan
mereka hanya bertahan empat bulan. Barangkali dua belas tahun jarak usia, membuat keduanya sering berbeda pendapat.
Mereka sama-sama keras kepala. Jaime selalu menuntutnya bersikap dewasa,
sementara Aurora meledak-ledak di masa remajanya.
Aurora
beberapa kali menjalin hubungan dengan lelaki lain. Namun semuanya tak bertahan
lama. Sementara dia juga tahu, kalau setelah berakhirnya hubungan mereka, Jaime
dekat dengan wanita. Aurora memang tidak bisa memastikan status hubungan
mereka. Tapi melihat keduanya tertawa-tawa di sebuah kafe kopi,
sekonyong-konyong rasa cemburu menyergap
Aurora.
Sejak
saat itu, Aurora bertekad ingin kembali mengambil hati Jaime. Sayang, waktu tak
seketika berpihak padanya. Baru tiga tahun kemudian, kesempatan itu datang.
Mereka bertemu di sebuah pesta pernikahan. Hal yang justru tidak
direncanakannya.
Aurora
dan Jaime sama-sama datang sendirian. Dari sana, semua berawal lagi. Mereka
kembali dekat. Namun, Jaime tak lagi
memintanya menjadi kekasih, melainkan melamarnya sebagai istri. Aurora tak
menolak. Bahkan, meskipun keputusan itu ditentang oleh seluruh keluarganya. Semuanya
menyayangkan masa depan Aurora.
“Kau
baru lulus SMA. Masih terlalu muda untuk memikul beratnya pernikahan.” Begitu
kata mamanya. Tapi bagi Aurora menikah adalah jalan, bukan sebuah beban. Dan
dia tak perlu mengejar masa depan yang lain, karena semuanya yang dia inginkan
ada pada Jaime.
Bulan-bulan
pertama, Jaime memperlakukan Aurora dengan sangat manis. Lelaki itu bahkan
selalu mendahulukan kepentingan Aurora. Tak ada yang janggal. Tak ada yang
membuatnya curiga. Media sosial Jaime bahkan bersih dari kunjungan sosok yang
tak ingin dia sebut namanya.
Sungguh,
Aurora sama sekali tak menyangka, kalau Jaime banyak menyimpan kenangan perihal
wanita itu.
Kini,
setelah ia tahu semuanya, melihat Jaime
di ambang pintu, sesuatu terasa mengaduk-aduk perutnya. Emosi yang sejak tadi tersulut, menjadi
semakin berkobar.
“Ini,
kan?” Aurora melempar pembatas-pembatas buku berbagai ukuran ke arah Jaime.
Kertas-kertas itu melayang dan jatuh berserak di dekat kaki lelaki itu.
“Aku
tak sudi tinggal di rumah yang kau tujukan pada kekasih gelapmu, Jaime!”
“Tidak
ada kekasih gelap, Aurora—“
“Harusnya
aku menuruti orangtuaku, bahwa lebih baik aku mengejar cita-citaku, daripada
menyerahkan masa depanku kepadamu!”
“Aurora,
kamu salah—“
“Ya
aku salah! Aku salah telah memilih menikah denganmu!”
“Dengar
aku.”
“Apa
tidak cukup mata dan telingaku yang selama ini hanya tertuju padamu!” Aurora
meledak.
Jaime
menubruknya. Membawa Aurora ke dadanya. “Hanya ada kamu, oke!”
Aurora
berusaha melepaskan diri. Tapi pelukan Jaime semakin kuat.
“Oke!
Aku punya masa lalu, tapi aku memilih menikah denganmu. Berjanji pada Tuhan
untuk terus bersamamu. Apa itu tidak cukup, Aurora?”
“Kau
memang bersamaku, tapi kau terus membawa kenanganmu dengan wanita itu, Jaime!”
Suara Aurora meninggi.
“Sudah
kubilang, jangan bongkar barang-barangku. Karena kau pasti salah paham.”
“Kau
tidak pernah cerita padaku. Tidak terbuka tentang semua ini, Jaime.” Aurora
mulai terisak.
“Aku
tak suka mengungkit masa lalu.”
“Tapi
ini rumah impian masa lalumu kan?”
“Jangan
mempermasalahkan hal-hal yang sepele, oke!”
Aurora
benar-benar melepaskan diri dari pelukan Jaime. “Sepele?” Matanya menatap
tajam. “Kau bilang ini sepele?” Ada genangan air yang siap jatuh. Tapi ia
buru-buru mengusapnya dengan kasar. “Kita berpisah, atau kau mengubah
jendela-jendela rumah ini?”
“Jangan
seperti anak kecil, Aurora!”
“Aku
memang anak kecil. Aku tak takut untuk memilih hidup bersamamu. Sekarang aku
juga tak takut jika harus berpisah denganmu!”
Aurora
berlari ke kamar. Dia menarik koper dengan asal. Membuka lemari dengan kasar
dan meraup bajunya sembarangan. Aurora memejam ketika air matanya luruh.
Rahangnya mengeras. Pundaknya terguncang-guncang.
Setelah
Aurora mengorbankan sekolahnya demi Jaime, dia harus dihadapkan pada pilihan.
Mengakhiri pernikahan dengan janin di kandungannya. Atau meneruskan hidup
bersama lelaki yang menyimpan nama wanita lain di hatinya?
“Aku
akan mengubah jendela rumah ini.” Sebuah lengan kokoh merengkuhnya dari
belakang. “Aku minta maaf, Sayang.”
Aurora
tak bergerak.
“Semua
orang punya masa lalu. Tapi kita hidup untuk masa depan. Jangankan hanya tentang
jendela, bahkan, kalau kau ingin kita meninggalkan rumah ini, aku tidak
keberatan.”
Aurora
ingin sepenuhnya percaya. Tapi semakin Jaime banyak berkata, dia justru merasa
kalau kalimat itu hanya untuk menghiburnya saja.
“Aku
minta maaf?” suara Jaime memohon.
Aurora
masih tidak menjawab. Pandangannya menerobos ke luar jendela kamarnya. Dalam
kepalanya, dia menyaksikan siluet dirinya, berdiri sendiri di persimpangan
jalan yang sama-sama terjal.[]
*Catatan Kecil
Dulu, Kak Rendra pernah mengatakan, "20 ide pertama yang kita buat itu sudah sering dipikirkan orang lain. Jadi buang 20 ide pertama dan buat daftar ke 21 dan seterusnya."
Saya terapkan tips itu untuk cerpen 'Jendela-Jendela'.
Alhamdulillah, berjodoh dengan Genie.
Ditulis tahun 2015, dikirim tanggal 9 Februari 2017 dan dimuat Maret 2017.
Ini pun kereeenπππ
BalasHapusTerima kasih sudah baca π☕
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus